Kemenag: UU Cipta Kerja Pangkas Proses Sertifikasi Halal
jpnn.com, JAKARTA - Sekretaris Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama, Muhammad Lutfi Hamid mengungkapkan, Undang-undang Cipta Kerja memberikan banyak kemudahan dalam berbisnis. Selain itu ada sejumlah pasal yang terkait tugas dan fungsi Kementerian Agama, salah satunya berkenaan penyelenggaraan jaminan produk halal (JPH).
"Undang-undang Cipta Kerja hadir dengan fleksibilitas peraturan perundang-undangan, memberikan penyederhanaan perizinan berusaha dan proses bisnis," kata Muhammad Lutfi, Selasa (1/12).
Dalam kaitannya dengan Jaminan Produk Halal, undang-undang ini juga memberikan banyak implikasi positif, di antaranya percepatan layanan sertifikasi halal, fasilitasi pembiayaan sertifikasi halal bagi UMK, penataan kewenangan, kepastian hukum, dan mendorong pengembangan ekosistem halal di Indonesia.
Menurut Lutfi, ada 22 pasal UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang JPH yang mengalami perubahan dalam UU Cipta Kerja. Selain itu, terdapat penambahan 2 pasal baru. Kesemuanya meliputi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan Proses Bisnis Sertifikasi Halal, Kerja Sama BPJPH, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan Auditor Halal, Penyelia Halal, Peran Serta Masyarakat, Sertifikat Halal, Label Halal, Self Declare, dan Sanksi Administratif.
Lutfi mencontohkan, berdasarkan UU JPH, proses sertifikasi halal produk dalam negeri membutuhkan waktu 97 hari kerja. Sementara sertifikasi halal produk luar negeri selama 117 hari kerja. Dengan UU Cipta Kerja maka proses sertifikasi halal dipangkas menjadi 21 hari kerja. Pemangkasan waktu itu meliputi semua proses bisnis layanan sertifikasi halal yang dilakukan di BPJPH, LPH, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Lutfi juga menegaskan, sejumlah terobosan pada UU Cipta Kerja, termasuk self declare, sama sekali tidak menghilangkan substansi kehalalan produk. Di dalam proses sertifikasi halal, MUI juga tetap berperan sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa halal.
Self declare atau pernyataan halal oleh pelaku UMK tersebut harus memenuhi kriteria yaitu menggunakan bahan baku no risk dan bahan pendukung yang sudah pasti kehalalannya. Selain itu, proses produksi yang sederhana yang dijalankan oleh pelaku usaha UMK juga harus memenuhi aspek kehalalan.
Adapun sertifikasi halal bagi UMK dapat digratiskan melalui berbagai fasilitas pembiayaan, di antaranya APBN/APBD, pembiayaan alternatif untuk UMK, pembiayaan dari dana kemitraan, bantuan hibah pemerintah atau lembaga lain, dana bergulir dan tanggung jawab sosial perusahaan.