Kemenpar dan FGD Sumbar Bahas Pentingnya Branding Pariwisata
"Setelah brandingnya oke, lanjutkan dengan promosi. Sebab, keduanya tidak bisa dipisahkan. Tanpa promosi sebagai alat pemasaran, branding juga tidak akan bermakna kuat," bebernya.
Salah seorang pegiat wisata, Hari Satria juga menyoal soal branding. Seperti Tokyo sebagai Ibukota Negara lebih dikenal dari China. Begitu juga Lombok lebih dikenal dari Nusa Tenggara Barat (NTB) dan sebagainya. Artinya, branding memang betul-betul berpengaruh terhadap asumsi masyarakat terhadap wisata sebuah daerah.
"Padang dan Sumbar secara umum, seharusnya sudah punya tagline dan logo jelas. Sehingga, identitas pariwisatanya jelas dan tidak sembarangan," kata dosen Universitas Andalas (Unand) itu.
Di luar Sumbar, orang lebih kenal Padang. Namun, setelah mendarat di Padang, orang lebih sering melancong ke jam gadang di Bukittinggi dan Mandeh di Pessel baru-baru ini.
"Artinya, branding ini mesti diketahui masyarakat luas. Tidak saja dikenal di lingkungan Pemerintah. Makanya, harus digencarkan lagi sosialisasinya," bebernya lagi.
Lain lagi tanggapan Nadir dari Asati Sumbar. Branding pariwisata Sumbar mesti dilekatkan pada Padang. Sebab, Padang yang lebih dikenal masyarakat Mancanegara. "Minangkabaunya tetap dimasukkan. Tapi, branding utamanya Padang," sebutnya.
Terhadap berbagai usulan tersebut, Sanggih mengatakan, jika ada kesepakatan yang diusung Dinas Pariwisata Sumbar soal branding. Dimana, Minangkabau mesti dimasukkan sebagai identitas masyarakat Sumbar.
"Ini perlu disepakati bersama baru diusulkan ke Kementrian. Terpenting, jati diri masyarakat Sumbar adalah Minangkabau, maka itu wajib masuk dalam branding," tutupnya. (rch)