Kenaikan Cukai Bikin Pabrik Rokok Menjerit, Menperin dan Menaker Jangan Diam
jpnn.com - JAKARTA – Industri rokok nasional kini dalam situasi yang menyulitkan. Dengan kenaikkan target penerimaan cukai sebesar Rp 141,7 triliun, pabrik rokok yang masuk kelas kecil dan menengah akan menjerit karena besarnya pajak yang harus dibayar.
Menteri Perindustrian Saleh Husin dan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri harus turun tangan. Kedua pembantu Presiden Joko Widodo ini harus bersuara untuk mempertimbangkan kembalik kebijakan kenaikan cukai rokok.
Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng mempertanyakan besaran kenaikan penerimaan cukai rokok yang fantastis. Pasalnya, kebijakan itu berbanding terbalik dengan komitmen pemerintah yang berjanji akan melindungi industri nasional.
"Akibat kenaikan target cukai sebesar 27 persen dari realisasi 2014 sebesar Rp 112 triliun, pabrik skala kecil menengah akan menjadi korban pertama," kata Daeng di Jakarta, Sabtu (7/2).
Daeng menjelaskan target pemerintah menarik cukai rokok bisa saja tercapai jika dipaksakan, tapi setelah itu pabriknya langsung tutup. “DPR yang ikut menyetujui angka itu apa menyadari bahwa kebijakan itu akan berdampak PHK puluhan ribu pekerja perempuan?” katanya.
Industri kretek, kata Daeng, memilikisocial-economic effect yang sangat besar. Tidak ada satupun industri nasional yang kuat seperti industri kretek. Kalau rencana kenaikan itu dipaksakan, ini menegaskan bahwa kebijakan cukai rokok Pemerintahan Jokowi-JK penyebab kebangkrutan industri kretek nasional.
Merujuk Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, papar Daeng, setiap kenaikan cukai harus melakukan konsultasi dengan kalangan industri sebelum diputuskan. Sementara di UU APBN-P pemerintah memutuskan begitu saja tanpa konsultasi. Padahal dua undang-undang itu punya posisi yang sama dan setara. “Pemerintah melanggar UU Cukai karena tidak pernah meminta pendapat kalangan industri dalam menaikkan cukai,” tegasnya.
Dengan kenaikan cukai rokok yang tinggi ini, pemerintah juga bersikap diskriminatif lantaran pemerintah tidak melakukan eksentifikasi cukai. Padahal tak hanya rokok yang bisa dipungut cukai. Misalnya, kenaikkan cukai minuman beralkohol atau minuman bersoda tidak masuk dalam target APBN-P 2015. “Target penerimaan cukai etil alkohol justru tidak naik karena hanya Rp 165,5 miliar,” ujar Daeng.
Terpisah, Ekonom Institute for Development Economy and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengingatkan pemerintah terkait dengan penentuan kenaikan cukai yang seharusnya tidak 'hantam krama'. Kenaikan cukai akan percuma jika tidak ada law enforcement dan pengawasan ketat. "Jika belum dirapikan bukan pendapatan naik tapi malah memicu rokok ilegal," ujarnya.