Kerugian Warga Capai Rp 17,2 Miliar
BOGOR-Pemkab Bogor harus segera menyiapkan tahapan relokasi untuk warga Kampung Gombong RT 1-2/3, Desa Cibadak, Kecamatan Sukamakmur. Itu karena, 593 jiwa yang menjadi korban pergeseran tanah tidak mungkin lagi menetap di tempat semula.
Ketua DPRD Kabupaten Bogor, Hanafi menegaskan, tahapan relokasi perlu segera dibahas. Karena proses ini memerlukan waktu yang cukup panjang. Mulai dari pembahasan dana, kajian tempat relokasi, pembangunan hunian di tempat relokasi dan bermacam infrastruktur lainnya.
“Harus ada anggaran tambahan. Dan itu juga perlu kajian teknis dari dinas. Kami (DPRD) siap membahasnya dengan cepat,” cetus Hanafi.
Dari data yang dihimpun Radar Bogor (Grup JPNN), saat ini ada 143 rumah yang diisi 156 kepala keluarga (KK) rusak karena pergerakan tanah. Rumah yang rusak telah diklasifikasikan menjadi tiga tipe, mulai dari rumah panggung, rumah semi permanen dan rumah permanen.
Tentu saja nilai rumah-rumah tersebut berbeda-beda. Untuk rumah panggung nilainya sekitar Rp30 juta, rumah semi permanen berada dikisaran Rp80 juta sampai Rp100 juta dan rumah permanen minimal Rp300 juta.
Sekretaris Desa Cibadak, Ahmud Muhtar menjelaskan, ada sekitar 36 rumah panggung yang nyaris rata dengan tanah. Sedangkan ada 79 unit rumah semipermanen dan 28 unit rumah permanen yang rusak. Jika jumlah rumah dan harga rumah tersebut dikalikan dan ditotal, maka Pemkab Bogor memerlukan anggaran paling kecil Rp17,2 miliar.
“Itu baru hitungan kasar. Karena masih ada sawah dan sejumlah aset warga lainnya yang terdampak bencana. Termasuk ada MI dan MTS juga,” paparnya.
Saat ini, Pemkab Bogor masih merencanakan relokasi dan membuat tempat hunian sementara (Huntara) seluas 1,8 hektar di Kampung Cimuncang, RT 4/2, Desa Cibadak. Di lahan tersebut, pemerintah akan membuat rumah tipe 24 atau 6x4 meter.
Sementara, Kepala Badan Penanggulangan Becana Daerah (BPBD) Kabupaten Bogor Yos Sudrajat belum bisa berbicara banyak soal relokasi. Terkait Cimuncang, Yos mengatakan, pemkab akan melihat terlebih dahulu kepemilikan tanah tersebut.
Yos dan jajarannya baru akan membahas relokasi hari ini. “Setelah dikaji kepemilikan tanah itu milik siapa maka akan kita sewa dan baru dibangun,” ujarnya.
Wakil Bupati Bogor, Nurhayati menegaskan, para korban tidak boleh terlalu lama menumpang di tempat tinggal warga lainnya. “Paling lama satu bulan karena tidak mungkin mereka berlama di sana. Harus secepatnya hal tersebut dibahas dan mencari jalan keluar. Jalan yang amblas juga sudah tidak bisa digunakan juga di relokasi, ” ungkapnya.
Sementara itu, Pakar Geologi Agus Kamardi menjelaskan sebab pergerakan tanah di Cibadak lebih dikarenakan faktor internal. Dimana batuan atau tanah yang terganggu daya ikatnya akibat terjadinya kelolosan air. Alhasil daya ikat tanah atau batuan itu menjadi lemah dan mudah bergerak.
“Tanah longsor adalah perpindahan tanah atau batuan akibat terjadi gaya berat. Pergerakan tanah ituterjadi dikarenakan dua faktor yang mempengaruhi, yakni faktor internal dan eksternal,” jelasnya.
Peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) yang juga Dosen Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB, Prof Kamir R Brata, menjelaskan, penataan tata ruang sangat penting dalam meminimalisir kemungkinan terjadinya bencana, seperti longsor dan banjir.
“Tanah dengan kemiringan tinggi seharusnya dilarang untuk didirikan bangunan. Begitu pula, dengan bangunan yang berdiri di bantaran sungai. Daerah ini harus steril dari pemukiman atau pun pembangunan,” tutur dia.
Ia juga menyarankan agar setiap pemukiman dengan kemiringan tinggi turut memberdayakan lubang serapan biopori untuk menjaga kelembaban tanah. Sehingga keretakan tanah yang kerap terjadi pada musim kemarau dapat diminimalisir.
“Karena bila kita tak melakukan upaya penjagaan kelembaban tanah, tanah akan mudah retak. Alhasil, ketika hujan melanda tanah yang retak itu, terjadilah pergeseran atau pergerakan tanah sehingga terjadi longsor,” jelas dia. (abe/rp6)