Ketentuan Kekuasaan Kehakiman di UUD 1945 Perlu Aturan Pelengkap
jpnn.com - SURABAYA - Ketentuan tentang kekuasaan kehakiman yang tertuang dalam Bab IX Pasal 24, 24A, 24B dan 24C Undang-Undang Dasar (UUD) RI Tahun 1945 hasil amandemen dianggap perlu untuk dilengkapi aturan-aturan pelaksanaannya. Aturan pelengkap itu diperlukan sebagai penyempurnaan pengaturan ketimbang kembali pada naskah UUD yang lama.
Pemikiran itu mencuat dalam acara Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Lembaga Pengkajian MPR RI di Hotel Java Paragon, Surabaya, Kamis (24/11). Acara FGD yang dibuka Ketua Lembaga Pengkajian MPR RI, Ir. Rully Chairul Azwar, M.Si, I.Pu hasil kerja sama dengan Universitas Dr. Soetomo itu dihadiri belasan wakil dari perguruan tinggi di Jawa Timur seperti Malang, Jember, Bangkalan, Gresik dan Madiun.
Dalam sesi diskusi yang menghadirkan narasumber mantan hakim MK, Dr. Haryono, MCL, pakar hukum Dr. Himawan Estu Bagyo, SH., MH dan Abdul Wahid SH., MH itu mencuatkan beberapa pemikiran. Selain ketidaksetujuan pada ide kembali ke UUD 1945 sebelum perubahan, rata-rata pembicara juga tidak setuju jika Mahkamah Konstitusi (MK) dibubarkan.
Kalaupun MK akan dire-evaluasi, hal itu hanya terkait dengan soal kewenangannya saja. “Yang tidak boleh hilang dari MK adalah kewenangan judicial review dan penanganan sengketa antar-lembaga tinggi negara. Soal impeachment, itu biar urusan MA karena menyangkut pelanggaran pidana,” tegas Haryono.
Terkait judicial review juga diusulkan agar MK selaku “penjaga konstitusi” menangani semua jenjang aturan hukum yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945, tidak saja tingkat UU namun peraturan yang ada di bawahnya seperti peraturan pemerintah (PP), peraturan presiden (Perpres), peraturan menteri dan sebagainya. Hal itu dinilai akan membuat MA lebih fokus menangani perkara-perkara kasasi dari peradilan yang ada di bawahnya.
Usul berbeda datang dari Abdul Wahid yang berpendapat bahwa aturan soal MK yang ada di UUD NRI Tahun 1945 sekarang tidak perlu dirombak. Menurutnya, MK justru harus diperkuat.
Abdul Wahid mencontohan, dalam kasus impeachment (pemakzulan), MK terkesan hanya menjadi lembaga fatwa saja karena keputusan terakhirnya tetap ada di MPR. Padahal, pemakzulan harus ada landasa hukumnya.
“Ini kan terkesan tidak konsisten. Kita kan ingin pemakzulan itu didasari alasan hukum, tetapi karena kata putus tetap ada di MPR, maka jadinya lebih kuat aspek politisnya,” jelas Wahid.