Ketika Novelis Aguk Irawan "Berjihad Literasi" di Pesantren Baitul Kilmah
Setiap pekan Baitul Kilmah yang bermakna Rumah Kata memiliki tiga agenda rutin. Pada Senin dan Sabtu, para santri diajak berdiskusi mengenai filsafat dan terjemahan. Selanjutnya, pada Jumat malam, mereka menggelar mujahadah (doa bersama).
Baitul Kilmah memang tidak seperti pesantren pada umumnya. Santrinya lebih banyak diguyur pengetahuan literasi ketimbang agama.
Karena itu, jika di pesantren konvensional santri diminta menyetorkan hafalan Alquran, di Baitul Kilmah saban minggu para santri diminta mengirim satu karya sastra. Bentuknya bebas. Bisa cerpen, puisi, novel, hingga karya terjemahan.
"Ketika Selasa atau Sabtu malam dibahas satu per satu," kata Aguk.
Pria asal Babat, Lamongan, Jawa Timur, tersebut bertugas mengoreksi. Jika sudah bagus, karya bisa dikirim ke penerbit. "Kalau untuk cerpen dan puisi, biasanya dikirim ke media massa," ucap Aguk.
Dunia pria yang ayahnya meninggal sejak dirinya berusia satu tahun itu memang dibentuk kehidupan pesantren dan aktivitas baca tulis. Ketika mengenyam bangku sekolah menengah atas di MAN Babat, Aguk juga belajar kitab kuning di Pondok Pesantren Darul Ulum, Langitan, Tuban.
Aguk lalu melanjutkan kuliah di Jurusan Akidah dan Filsafat Universitas Al-Azhar Kairo. Dia berkuliah atas beasiswa Majelis A'la Islamiyah.
Pria yang terlahir dari keluarga sederhana itu kemudian meneruskan studi di Institut Agama Islam Al-Aqidah Jakarta. Saat ini pun dia masih menempuh pendidikan doktor (S-3) di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Jogjakarta.