Ketika Warga Miskin RI Luput dari Penanganan COVID-19
Sejumlah pejabat, pekerja sosial dan keluarga korban menjelaskan kepada kantor berita Reuters bahwa mereka yang memiliki uang, koneksi, dan keberuntungan memiliki harapan terbaik untuk mendapatkan bantuan medis.
Namun demikian, karena biasanya memakan waktu berhari-hari, pencarian bantuan medis seringkali berakhir tragis.
Hal inilah yang dialami Irna Nurfendiani Putri (32), seorang pekerja di bidang teknologi informasi, yang sempat berburu tempat tidur rumah sakit di Jakarta untuk saudaranya, Rachmat Bosscha (44).
"Dua orang meninggal dalam selang waktu 30 menit," katanya. "Kemudian saudara saya dipindahkan ke tempat tidur mereka."
Akibat ruang perawatan intensif (ICU) yang penuh dan persediaan oksigen rumah sakit yang terus habis, Irna harus berulangkali memasangkan oksigen ke saudaranya dari tangki portabel yang mereka bawa sendiri.
"Saya tidak bisa menyalahkan rumah sakit karena persediaannya langka," katanya. "Tapi cukup mengerikan melihat saudara saya kesulitan bernapas."
Diminta oleh staf rumah sakit untuk membeli enam botol remdesivir, obat yang menghambat virus SARS-CoV-2, keluarga Irna berhasil menemukan dua botol, sebagian berkat sepupunya yang kebetulan seorang dokter.
"Kami masih mencari empat botol lagi. Tapi pada pukul 10 pagi, rumah sakit menelepon ibu saya dan menyampaikan kabar bahwa saudara saya sudah meninggal," papar Irna.