Ketua DPR Minta Freeport Tuntaskan Masalah Ketenagakerjaan
jpnn.com, JAKARTA - Ketua DPR RI Bambang Soesatyo meminta PT Freeport Indonesia segera menyelesaikan permasalahan terkait ketenagakerjaan. Bamsoet begitu sapaan akrabnya, menyatakan kepentingan perusahaan harus sejalan dengan kepentingan pekerja, masyarakat setempat serta bangsa dan negara Indonesia.
“Saya yakin Freeport mampu menyelesaikannya dengan baik. Kami di DPR RI melalui Komisi IX maupun Tim Pengawas Otonomi Khusus Papua siap memfasilitasi komunikasi guna menyelesaikan masalah yang dihadapi Freeport dengan para pekerjanya,” ujar Bamsoet saat menerima perwakilan PT. Freeport Indonesia di ruang kerja Pimpinan DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (7/3/2018).
Dalam kesempatan itu, Bamsoet didampingi Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf, Wakil Ketua Komisi IX Syamsul Bachri dan anggota Komisi VII Peggi Patrisia Pattipi.
Bamsoet menekankan agar permasalahan yang ada dapat diselesaikan berdasarkan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dan peraturan perundang-undangan yang ada sehingga kepentingan rakyat Papua dan pekerja dari berbagai daerah di PT Freeport Indonesia terjembatani dengan baik tanpa merugikan Freeport.
“Saya mengajak semua pihak, baik Freeport maupun pekerja, marilah berpegang teguh pada aturan yang berlaku. Jika komitmen terhadap peraturan ditegakan, saya yakin semua persoalan bisa diselesaikan dan tidak akan ada yang menjadi korban,” ungkap Politikus Fraksi Partai Golkar itu.
Sementara itu, Executive Vice President Human Resources (EVP - HR) PT Freeport Indonesia Achmad Ardianto, menjelaskan kondisi Freeport masih dalam proses ketidakpastian terkait kelangsungan operasi perusahaan di tahun-tahun mendatang.
Menurutnya, produktivitas Freeport juga terkendala akibat pembatasan ekspor. “Sebagai bagian efisiensi dalam mengelola ketidakpastian operasional, pada awal 2017 perusahaan menyiapkan rencana operasional baru yang mengharuskan 823 pekerja dirumahkan, karena posisi pekerjaan mereka dihilangkan,” jelas Ardianto.
Ardianto menyatakan upaya pemberhentian 823 pekerja tersebut mendapat penolakan dari sejumlah pekerja. Efeknya, pada awal April 2017 sebanyak 3.200 pekerja langsung dan 600 pekerja kontraktor berdemonstrasi dan tidak bekerja sesuai jadwal. Demonstrasi bukan karena gagalnya perundingan sebagaimana diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dan peraturan perundangan, namun karena solidaritas.