Kiprah Yusuf Nugraha, Dokter Berhati Mulia
Padahal, kali pertama berdiri pada 2008, klinik itu hanya menempati ruangan 3 x 2 meter di salah satu kamar rumah kakak Yusuf di desa kampung halamannya. ”Waktu itu karyawannya cuma saya sendiri, istri, ibu saya, dan satu karyawan obat,” ungkap dokter 36 tahun lulusan Universitas Jenderal Achmad Yani Cimahi tersebut.
Yang tak pernah berubah adalah komitmen membantu warga tidak mampu. Komitmen yang lahir dari kondisi masa kecil Yusuf sekeluarga. Setelah ayah dan ibunya bercerai. Ketika Yusuf, anak bungsu di antara lima bersaudara, masih berusia 5 tahun.
Sang ibu Duning Burdaningsih mengambil alih tugas merawat kelima anak sendirian. Dengan hanya berbekal gaji sebagai guru sekolah dasar. Dengan segala keterbatasan itu, ibunda Yusuf tetap bercita-cita agar semua anaknya bisa menjadi sarjana.
Caranya, setiap awal bulan, Duning selalu menyampaikan penghasilannya kepada kelima anaknya. Dan kemudian membaginya sesuai kebutuhan tiap-tiap anak.
Padahal, gaji Duning ketika itu hanya Rp 750 ribu. ”Dibagi untuk SPP dan kebutuhan hidup lain. Kalau kurang, ibu pinjam koperasi, dicicil, jadi semua transparan. Untuk tambahan, beras jatah PNS juga kami jual,” kenang ayah dua anak, Muhammad Zarbia dan Maraya Zara, tersebut.
Yang jadi persoalan adalah saat ada anggota keluarga yang sakit. Sebab, itu berarti ada tambahan dua biaya sekaligus. Untuk mengobati penyakitnya (dokter dan obat-obatan). Juga untuk membayar biaya perawatan (klinik atau rumah sakit). Padahal, untuk bertahan hidup saja sudah pas-pasan.
Itulah yang kemudian mendorong Yusuf menjadi dokter. Dan itu dia wujudkan dengan masuk Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani. Namun, persoalan biaya lagi-lagi menghadang. ”Saya sempat mengurungkan niat (jadi dokter, Red). Kalau tidak bisa ya sudah,” katanya.
Keluarga pun berkumpul. Ibu dan keempat kakak Yusuf akhirnya sepakat mendukung niat dan cita-citanya. Diputuskan menggadaikan rumah yang mereka tempati untuk biaya kuliah Yusuf.