Kisah Bung Karno Meredam Perseteruan Elite dengan Halalbihalal
jpnn.com, JAKARTA - Idulfitri merupakan hari suci bagi umat Islam untuk saling memaafkan dan kembali menjadi fitri. Namun, dalam sejarah kebangsaan Indonesia, hari raya terbesar umat Islam itu bukan sekadar kegiatan religius.
"Tapi juga simbol untuk mengakhiri perseteruan di antara elite politik yang dapat memecah belah bangsa," ujar Deputi IV Kantor Staf Presiden Eko Sulistyo, Minggu (2/6).
Eko mengatakan, pada 1948, Republik Indonesia yang baru berumur tiga tahun dilanda persaingan politik, perseteruan ideologi, pemberontakan, dan perpecahan. Situasi ini tentu saja membuat Presiden Soekarno sangat cemas.
Karena itu, lanjut dia, pada pertengahan Ramadan 1948, Sang Proklamator memanggil KH Abdul Wahab Hasbullah, ulama terkemuka yang juga tokoh Nahdlatul Ulama (NU).
"Soekarno ingin meminta pendapat dan nasehat KH Wahab terkait fragmentasi politik di antara para pemimpin bangsa yang makin akut," tutur Eko.
BACA JUGA: Rizal Ramli Berharap Jokowi Legawa Lepas Jabatan Seperti Bung Karno dan Gus Dur
Kiai NU yang sangat dihormati itu lalu menyarankan kepada Soekarno untuk mengadakan acara silaturahim dalam rangka menyambut Idulfitri. Namun, menurut Soekarno, silaturrahmi sudah biasa, perlu istilah lain.
Kiai Wahab pun mengusulkan istilah halalbihalal yang akhirnya disetujui Soekarno. Melalui momentum Idulfitri, Istana memberikan pesan mempersatukan bangsanya. "Sejak itu, istilah halalbihalal menjadi tradisi setiap Idulfitri untuk saling memaafkan di antara sesama warga masyarakat," tutur Eko.