Kisah Hebat Anak-anak Suku Dayak Amandit Menggapai Impian
Ya, pengalamannya melewati jalan setapak berbatu. Kala itu kilat petir menyala-nyala. Tanda hujan segera turun. Alda lantas berlari secepatnya agar seragamnya tidak basah. ’’Kaki sempat lecet karena terpeleset dan kena batu,’’ ungkapnya dengan logat Melayu Banjar, khas suku Dayak Amandit yang mendiami hulu sungai pegunungan Meratus.
Apa daya, hujan lebih cepat mengguyur. Tak ada kesempatan bagi Alda untuk mencari tempat berteduh. Sebab, di sepanjang jalan setapak itu tidak ada pepohonan yang bisa melindunginya dari air yang tumpah dari langit. Seragamnya basah. Begitu pun tasnya yang berisi buku-buku. Namun, semangatnya untuk segera sampai ke sekolah tidak surut. Alda terus berjalan menelusuri medan berlumpur.
Separo perjalanannya sudah terlampaui. Biasanya, memasuki wilayah Loklahung, dia bertemu dengan teman-teman sekolahnya di simpang empat jalan desa. Setidaknya, hal itu membuatnya lega. Dia tidak lagi berjalan sendiri hanya ditemani suara jangkrik atau burung-burung malam.
Ujian tidak sampai di situ. Di pengujung perjalanan, Alda dan teman-temannya harus menyeberangi Sungai Amandit dengan meniti jembatan kayu yang telah usang. ’’Waktu itu belum ada jembatan besi,’’ ucap Alda yang bercita-cita menjadi atlet.
Jembatan tersebut tersusun dari kayu-kayu lapuk. Sebagian sudah patah dan berlubang karena termakan usia. Maklum, umur jembatan tersebut sudah mencapai puluhan tahun.
Alda mengungkapkan, kondisi akan menyeramkan saat hujan lebat dan arus sungai mengalir deras. Dia pun harus terus berlari seraya mewaspadai langkah kakinya agar tidak terjeblos. ’’Pernah hampir jatuh ke sungai,’’ kenangnya.
Alda sudah lumrah belajar dalam kondisi seragam basah hingga kering kembali. Itu semua hanya sepenggal cerita getirnya selama ke sekolah ketika masih duduk di kelas I–III. Kini Alda tinggal bersama orang tuanya di Kota Loksado. Dia pindah karena tidak ingin merepotkan neneknya yang kian renta. ’’Nenek sudah tidak bisa bertani. Dia istirahat saja,’’ terang Alda dengan pandangan berkaca-kaca.
Sesekali dia dan orang tuanya menjenguk sang nenek. Selain itu, kini Alda tidak lagi menempuh perjalanan 7,5 km setiap pagi. Meski, sekarang dia masih harus berjalan kaki selama sejam menuju ke sekolah. Sekarang Alda dan murid-murid lain di sekolah itu sudah tidak waswas ketika harus menyeberangi sungai.