Kisah Hebat Satgas Tinombala, Bergerak Senyap 11 Hari di Hutan saat Malam
Berbagai peralatan komunikasi juga diperbanyak. Bahkan, alat komunikasi dari Inggris yang digunakan pasukan khusus pun dipakai. Sayang, ternyata alat komunikasi itu sama sekali tidak berfungsi di Bukit Biru.
Padahal, dalam kondisi genting seperti itu, komunikasi untuk melakukan koordinasi sangat penting. ”Saya paling khawatir kalau tidak bisa komunikasi. Ya karena cuaca di Bukit Biru itu,” terangnya sembari menunjuk puncak Bukit Biru yang terlihat dari pos tersebut.
Pada Senin dua pekan lalu itu, puncak Bukit Biru memang tampak diselimuti awan tebal walau cuaca tak hujan. Dari kejauhan tampak garis-garis putih yang melintang di badan bukit. ”Nah, garis-garis itu jalan. Jalan itu berkelok, bercabang tak tentu arahnya,” papar dia.
Yang membuat Leo senang, dalam sebuah penyergapan, didapatkan alat global positioning system (GPS) milik Santoso cs. ”GPS yang bisa diamankan itu penting,” ujar polisi yang saat ini menjabat komandan Satgas Operasi Tinombala tersebut.
GPS yang disita itu bisa dibilang turut mengubah keadaan. Sejak awal diketahui, hanya beberapa orang anggota Santoso yang mengenal luar dalam medan. Selebihnya menggunakan GPS untuk bisa bergerak di hutan itu. ”Kalau GPS itu sudah tidak dimiliki, tentu ruang gerak terbatas. Arah tidak diketahui,” ucapnya.
Hasilnya, memang makin banyak anggota Santoso yang tertangkap. Bahkan, anggota Santoso yang dinilai paling berbahaya karena memiliki latar belakang militer, Daeng Koro, bisa dilumpuhkan dan tewas.
Kapolda Sulawesi Tengah Brigjen Rudy Sufahriadi menjelaskan, saat itu ada warga yang didatangi seorang lelaki yang membawa senjata. ”Lelaki itu minta makan,” ujarnya.
Setelah diberi makan, lelaki tersebut pergi. Warga itu langsung turun gunung dan memberikan informasi kepada tim. Tim pun mengejar ke lokasi yang diprediksi sebagai lokasi lelaki tadi.