Kisah Hebat Seorang Polisi
jpnn.com - JUNAIDIN tergerak membangun pesantren ketika angka kriminalitas di Bima meningkat. Sebelum tahun ini, dia harus mengajar sendiri seluruh santrinya.
TRI MUJOKO BAYUAJI, Bima
KE bangunan dengan atap seng berwarna biru nun jauh di bawah bukit Desa Songgela itulah mobil Junaidin mengarah. Cukup jauh dari perkampungan penduduk. Juga, mesti melalui jalan yang hanya sebagian kecil sudah beraspal. Sisanya berbatu-batu dan terjal.
Kian dekat dengan bangunan yang dituju, lantunan ayat suci Alquran terdengar. Dari suara anak-anak. ”Mereka ini anak-anak Desa Songgela. Sekarang, kalau penuh, jumlahnya bisa sampai 70 anak,” kata Junaidin.
Yang dimaksud ”kalau penuh” oleh polisi berpangkat brigadir polisi kepala (bripka) itu adalah bangunan bercat biru tersebut. Itulah musala, tempat segala aktivitas santri Pondok Pesantren (Ponpes) Al Fathul Alim berpusat.
Tidak sepeser pun biaya yang dikenakan kepada anak-anak yang ingin mengaji di sana. Mayoritas santri di pondok itu berusia 6–7 tahun. Yang lebih tua daripada itu umumnya sudah khatam. ”Saya mendirikan pesantren ini sejak 2009,” kata polisi yang bertugas di Polsek Rasanae Barat, Kota Bima, Nusa Tenggara Barat, tersebut.
Ayah tiga anak itu mendirikan ponpes tersebut dari hasil memeras keringat sendiri. Dalam arti seharfiah-harfiahnya. Maksudnya, Junaidin tak hanya merogoh kocek sendiri. Tapi juga keluar tenaga untuk membangunnya.
Ponpes itu berdiri di sebidang tanah yang dibeli sepulang Junaidin melaksanakan tugas kepolisian di Papua. Uang yang digunakan untuk membeli tanah seluas 0,8 hektare tersebut berasal dari warisan keluarga.