Kisah – kisah Mistis Buaya Terkam Manusia, Pantang Mandi tanpa Busana dan Cuci Kelambu
Kampung Tabalar Muara berjarak sekitar 120 kilometer dari Kecamatan Tanjung Redeb, ibu kota Kabupaten Berau, dengan waktu tempuh sekitar 3 jam perjalanan darat menggunakan mobil. Berau Post (Jawa Pos Group) yang pekan lalu, Kamis (20/6) berkunjung ke Tabalar Muara, langsung disambut dengan kondisi jalan yang memprihatinkan saat memasuki wilayah kampung. Jalan tanah berdebu dan berlubang yang sudah menyambut dari gerbang kampung, harus ditempuh sepanjang 2 kilometer hingga sampai ke kantor pemerintahan kampung.
Kebetulan, Jalalludin (47), Kepala Kampung Tabalar Muara, sedang berada di ruang kerjanya saat Berau Post tiba siang itu.
Bertemu dengan pemimpin pemerintahan kampung, Berau Post langsung mengutarakan maksud kedatangan kepada Jalalludin. Jalalludin sendiri mengaku sudah selama 20 tahun menjadi warga Tabalar Muara. Sehingga dirinya sudah sangat paham mengenai kehidupan sosial masyarakatnya, termasuk soal keresahan warganya mengenai risiko saat mengambil air bersih di sungai.
Karena dari catatannya, sejak tahun 2012, sudah ada empat kasus warga diterkam buaya saat beraktivitas di sungai. Keempat warga tidak ada yang bisa diselamatkan, bahkan tiga korban jasadnya tak pernah ditemukan.
Namun baginya dan warganya, penghuni Sungai Tabalar Muara adalah nenek moyang mereka sendiri. Bahkan menyebut kata buaya sudah menjadi pantangan bagi warga setempat, karena bisa menjadi pertanda akan munculnya korban jiwa, yang disebabkan predator raksasa tersebut.
Bukan hanya pantangan menyebut kata buaya, warga Tabalar Muara juga meyakini beberapa hal yang jika dilanggar bisa membawa petaka. Seperti tak boleh sesumbar jika berada di sungai, tidak boleh mandi tanpa sehelai benag pun dan mencuci kelambu di sungai, termasuk menjadikan panci sebagai gayung saat mandi di sungai.
Karena dari keyakinan mereka, semua hal itu akan memicu kemarahan buaya yang menjadi penunggu Sungai Tabalar Muara.
“Itu pantangan yang selalu kami pegang teguh sejak dulu. Karena masyarakat sini percaya bahwa nenek (buaya, red) penunggu sungai adalah leluhur mereka. Makanya kami warga sini enggan untuk memburu mereka. Tetapi saat ini keberadaan mereka sudah cukup meresahkan,” katanya membuka percakapan dengan Berau Post.