Kisah Mualaf Pemain Terbaik di Liga Santri
"Biar cukup saya yang tahu, saya tidak mau psikologisnya terganggu, dia baru menjalani keyakinannya, baru merasakan kerja kerasnya berlatih sepak bola, kenapa ada omongan yang menyakitkan seperti ini," tandasnya.
Lelaki 52 tahun tersebut kemudian menceritakan kisah hidup putranya. Sejak kecil, Richard kristen mengikuti keyakinannya. Sekolahnya pun di SD kristen.
Memasuki SMP, Richard disekolahkan di SMP katholik di Jember. SMA pun demikian di sekolah katholik. ''Jadi mulai kecil terbiasa di sekolah yang tidak harus sama agamanya,''
Sejatinya, menurut Sutikno buah hatinya tersebut telah menyatakan ingin menjadi mualaf sejak 2013 lalu. Saat ini dia sudah berlatih bersama SSB Nuris yang kebetulan pelatihnya adalah Sutikno.
Namun, dia meminta sang anak tak terburu-buru. Ketika itu dia khawatir anaknya hanya terpengaruh saja sehingga ingin pindah agama. Tapi ternyata, setelah masuk SMA dia kemudian memantapkan hati untuk menjadi mualaf.
Berundinglah Sutikno dengan sang istri, Siane. Karena menganggap anak sudah dewas, dia tidak mau menghalangi kepercayaan anaknya. Juli lalu, Richard sudah menjadi muslim. Secara legal, pada Agustus lalu perubahan agamanya diakui negara.
Sutikno bahkan diminta menandatangani surat tidak keberatan anaknya berpindah agama. Dia kaget kenapa permasalahan anaknya yang dianggap non muslim ikut Liga Santri mengemuka setelah event selesai. Jik memang bermasalah, maka seharusnya sejak verifikasi anaknya tidak bisa lagi ikut Liga Santri.
''Tapi anak saya lolos verifikasi. Tidak ada yang salah dengan dia. Kalau pun dia non muslim, apakah salah dia bermain sepakbola dan mengikuti Liga Santri. Toh, di regulasi juga dijelaskan soal itu.''