Kisah Terjeratnya si Bos Grup Modern
Setelah itu, grup Modern kalang kabut sejalan dengan krisis moneter yang melanda. Di awal tahun 2000an bisnis grup Modern nyaris tidak ada. Terlebih mulai masuk bisnis digital, penjualan Fuji film kian termegap-megap.
Catatan Bareksa, setelah krisis 1997-1998, dua perusahaan terbuka milik Modern yaitu PT Modern Photo Film (sekarang PT Modern Internasional Tbk (MDRN)) dan PT Modernland Realty Tbk (MDLN) terlilit utang dalam jumlah besar.
Pada tahun 1997 rasio utang terhadap modal (debt to equity ratio, DER) MDRN melonjak menjadi 262 persen dari sebelumnya hanya 66 persen. Total utang membengkak sekitar kali empat menjadi Rp 710 miliar dari sebelumnya hanya Rp 205 miliar.
Puncaknya, pada 2004, utang mencapai Rp 829 miliar sebaliknya nilai ekuitas menciut menjadi Rp 162 miliar dari sebelumnya sekitar Rp 310 miliar.
Generasi ketiga, digawangi putra dari Luntungan Honoris dan Sungkono Honoris mulai bergerak. Terutama Henri Honoris, putra dari Luntungan yang berjuang mendapatkan merek dagang convenience store, 7-Eleven di bawah bendera MDRN.
Di bidang property, William Honoris ikut berjuang. Meski, di MDRN, para pemilik saham harus rela melepas sebagian saham kepada Asialink
Electronics yang sempat menjadi pemilik mayoritas di MDRN sebesar 53,1 persen sedangkan PT Inti Putra Modern menyisakan kepemilikan 17,2 persen.
Hal tersebut dilakukan untuk menambah modal dan memerbaiki kinerja. Generasi Honoris itu lah yang namanya kini terpajang di grup Modern.