KKB Terus Bergejolak, Senator Filep Wamafma Ungkap Akar Persoalan
Kedua, pemahaman ideologi dikarenakan perbedaan pendapat terhadap sejarah integrasi yang tumbuh subur di tengah rakyat Papua diikuti dengan sejarah konflik senjata pada saat tahun 60-an.
Ketiga, perlawanan masyarakat terhadap pemerintah melalui Komnas HAM, jika terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), dilakukan melalui proses pengadilan.
Tokoh intelektual Papua ini berpendapat permasalahan dalam persoalan KKB. Sejauh ini belum ada kejelasan apakah institusi atau perorangan yang terlibat dalam pelanggaran HAM akan diproses pengadilan.
Oleh karena itu, kondisi ini menjadi sulit dan pada akhirnya diperjuangkan oleh LSM maupun oleh Ketua Adat karena belum ada upaya nyata oleh pemerintah untuk menyelesaikan masalah tersebut.
“Hal ini menjadi sulit karena perorangan tersebut melakukan tugas dari institusi dan perintah dari pemimpin di masa lalu. Hal ini terkait dengan siapa pemimpin yang menerapkan tugas tersebut. Jika pemerintah ini mau memproses hal itu maka jelas bisa diproses, tapi negara pasti akan melindungi karena hal itu dilakukan bukan berdasarkan perorangan tapi dilakukan atas nama institusi,” ungkap Senator Filep.
Menurut Filep, jejak sejarah kelam di masa lalu itu berlanjut kepada generasi saat ini.
Selain itu, hak warga dalam Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) saat 1969 lalu juga masih menimbulkan polemik dimana terdapat lebih dari 600 ribu hak suara, akan tetapi nasib Papua hanya ditentukan oleh 1.025 suara yang seluruhnya mendukung integrasi ke Indonesia.
“Hal inilah yang masih diperdebatkan sampai sekarang, apakah warga Papua ini diakui atau tidak oleh pemerintah. Sehingga terjadilah gejolak yang memanas. Buktinya adalah setiap tanggal 1 Desember pasti dirayakan Hari Kemerdekaan Papua. Dalam hal ini seharusnya pemerintah mengambil peran, pemerintah harus menunjukkan bukti bahwa Papua adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” kata Filep.