KLHK Luncurkan Tiga Peta Tematik Indonesia Tahun 2018
jpnn.com, JAKARTA - Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PDASHL KLHK), I.B. Putera Parthama mengatakan, sebagai salah satu negara dengan laju sedimentasi terbesar di dunia, yaitu lebih dari 250 ton/km2/tahun, Indonesia sangat rentan akan potensi degradasi lahan.
Dengan demikian, pendekatan lanskap menjadi keharusan dalam formulasi tata kelola lahan di Indonesia. "Pendekatan lanskap mampu menilai keterkaitan komposit antar atribut secara tepat, terutama peran manusia sebagai pemanfaat sumberdaya, sekaligus driving force (pemicu) perubahan yang terjadi," tuturnya saat mewakili Menteri LHK, pada peringatan Hari Penanggulangan Degradasi Lahan Sedunia Tahun 2018, di Jakarta (5/7).
Dia menyampaikan, berkenaan dengan tema yang diangkat tahun ini yaitu “Land has true value, Invest in it" atau “Lahan adalah aset yang bernilai tinggi, Jaga dan kelola untuk masa depan”, Indonesia bertekad untuk memulihkan dan merehabilitasi lahan yang terdegradasi.
"Tidak seperti perayaan lainnya, Hari Degradasi Lahan Sedunia, benar-benar memberi peringatan dalam arti warning (peringatan), bahwa degradasi lahan adalah salah satu bentuk degradasi sumber daya alam yang sangat berbahaya dan betul-betul terjadi," tegasnya.
Pada kesempatan ini, KLHK juga meluncurkan tiga peta tematik sebagai sebagai data spasial pendukung, dalam upaya penanggulangan degradasi lahan. Ketiga peta tematik tersebut adalah Peta Batas DAS Indonesia Tahun 2018 (skala 1 : 50.000), Peta Lahan Kritis Indonesia Tahun 2018, dan Peta Rawan Erosi Indonesia Tahun 2018, yang akan ditandatangani secara resmi oleh Menteri LHK, Siti Nurbaya.
Ketiga peta tersebut disusun berdasarkan hasil analisis dari 34 Unit Pelaksana Teknis Ditjen PDASHL, dan difinalisasi oleh Direktorat Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian DAS (PEPDAS), sebagai wali data sesuai Keputusan Kepala BIG Nomor. 54 Tahun 2015 tentang Wali Data Informasi Geospasial Tematik.
Putera mengharapkan, dengan adanya ketiga peta tersebut, dapat digunakan sebagai instrumen dalam melakukan benefit-impact analysis (analisis dampak dan manfaat), dalam penentuan indikasi program pada pola ruang.
Sementara itu, berdasarkan hasil kajian, kerugian ekonomi akibat erosi di Pulau Jawa tahun 2005 sebesar USD 400 juta per tahun. Meskipun total kuantitas air seluruh pulau di Indonesia terjadi surplus sebesar 449.045 juta m3, namun untuk Jawa dan Bali terjadi defisit sebesar 105 milyar m3, dan Nusa Tenggara defisit sebesar 2,3 milyar m3 (BAPPENAS, 2015). Hal ini menyebabkan jumlah orang yang berisiko terdampak bencana hidrometeorologis, akan meningkat dari 1,2 miliar saat ini, ke 1,6 miliar pada tahun 2050.