KLHK Siapkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis di Lokasi Calon Ibu Kota RI
jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah telah menetapkan rencana pemindahan ibu kota negara Indonesia di sekitar Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Hal ini disampaikan Presiden Joko Widodo pada konferensi pers Senin, 26 Agustus 2019.
Presiden juga sempat mengarahkan, pemindahan ibu kota ini sekaligus memperbaiki kawasan Tahura Bukit Soeharto. Pemindahan ibu kota ini diharapkan jangan menimbulkan kekhawatiran apalagi skeptik terhadap persoalan Bukit Soeharto saat ini, karena justru tindakan ini untuk memperbaiki kawasan tersebut..
Dalam Rapat Kerja dengan Komisi V DPR pada Senin (26/8) kemarin, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyampaikan bahwa Kalimantan Timur memiliki ekosistem yang unik. Namun, Kementerian LHK juga telah melakukan deteksi terhadap ekosistem-ekosistem ini dan KLHK akan melakukan tindakan untuk menjaga ekosistem secara berkesinambungan.
Pasalnya, salah satu masalah terbesar Kalimantan Timur adalah banyaknya lubang-lubang bekas tambang. “Sehingga dengan rencana pemindahan ibu kota ini dapat menjadi salah satu jalan penyelesaian masalah. Jadi secara positif hal ini bisa dilakukan,” ujar Menteri Siti.
Menteri Siti mengakui untuk mempersiapkan hal tersebut telah dilakukan kunjungan lapangan bersama tim untuk segera dapat mempersiapkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) kawasan ini, serta segera melakukan kajian antara kebijakan dan rencana-rencana, serta program-program berdasarkan kondisi lapangan sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada.
Terkait lokasi, Menteri Siti menyampaikan meski belum ada lokasi spesifik yang disampaikan oleh Presiden, namun dapat dipastikan bahwa kawasan di dua tempat yang disebutkan itu merupakan kawasan hutan produksi. Sesuai Peraturan Pemerintah, alokasi terhadap hutan produksi juga ditetapkan berdasarkan analisis dan juga keperluan negara. Selanjutnya menurut PP Nomor 104 tahun 2015, kawasan hutan produksi dapat berubah sesuai perencanaan dan alokasi yang dibutuhkan pemerintah.
“Hal ini berarti bahwa pemegang izin kawasan hutan produksi harus mengikuti dan mentaati perubahan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, yang merupakan bagian dari kewenangan ekstraktif negara. Serta yang terpenting dalam penyelenggaraan kewenangan ini adalah negara tidak bersifat sewenang-wenang,” terang Menteri Siti.
Menteri Siti juga menambahkan, karena status kawasan ini dikelola oleh pemegang izin, maka tidak ada kewajiban dari pemerintah untuk melakukan ganti rugi.