Komisi I DPR Bentuk Panja Frekuensi
jpnn.com - JAKARTA - Untuk menata ulang industri selular yang kini telah karut-marut dan mencegah peralihan frekuensi yang berpotensi merugikan negara, Komisi I DPR merencanakan membentuk Panitia Kerja (Panja) Pengelolaan dan Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio.
"Pembentukan Panja tersebut akan dibahas dalam Rapat Intern Komisi I DPR RI, dalam waktu dekat," kata anggota Komisi I DPR, Evita Nursanti, di gedung DPR, Senayan Jakarta, Kamis (30/1).
Selain itu lanjutnya, guna melengkapi hak dan kewajiban sesuai ketentuan lisensi frekuensi yang diberikan, Komisi I juga meminta operator telekomunikasi untuk menyerahkan data mengenai cakupan layanan telekomunikasi di tingkat kabupaten dan kecamatan di Indonesia, baik teknologi 2G maupun 3G.
"Penyerahan data tersebut dilakukan pada 4 Februari 2014, saat Komisi I berencana membahas agenda USO (Universal Service Obligation) serta kewajiban Menkominfo menjelaskan kajian tim ad-hoc yang menjadi dasar dari keputusan pemberian izin akuisisi dan pengalihan frekuensi 1800 tanpa tender milik Axis kepada XL Axiata," ungkap Evita.
Lebih lanjut, politisi PDI-P itu, menyoroti peristiwa merger korporasi yang dia nilai wajarr. Namun bagi industri telekomunikasi menurut Evita, ada perlakuan khusus yang harus diketahui khalayak bahwa merger hanya untuk aset dan pelanggan perusahaan yang dimerger atau diakuisisi.
"Tidak termasuk spektrum frekuensinya, sebab frekuensi bukan merupakan aset perusahaan namun berupa hak pakai. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (1) UU Nomor 36 tahun 1999 mengenai Telekomunikasi, bahwa penggunaan spektrum frekuensi radio wajib mendapatkan izin pemerintah," tegasnya.
Karenanya Evita mempertanyakan pengalihan frekuensi milik Axis 1.800 secara langsung kepada XL. Keputusan Menkominfo Tifatul Sembiring itu jelas bertabrakan dengan regulasi yang mengaturnya. Harusnya seluruh frekuensi yang dikelola oleh Axis wajib dikembalikan ke negara untuk ditender ulang dan dikelola oleh operator memiliki komitmen membangun jaringan ke seluruh wilayah Indonesia.
“Keputusan Menkominfo jelas melanggar regulasi. Otomatis keputusan yang telah dikeluarkan menyangkut akuisisi menjadi cacat hukum, sehingga proses tersebut harus dibatalkan”, tegas Evita.