Komunikasi Kematian
Oleh: Khafidlul UlumTeman saya yang “pemberani” keluar dari IGD, kemudian memapah yang sakit masuk rumah sakit. Malam itu, mereka akan mencari rumah sakit yang bisa merawat inap teman saya yang sakit.
Saya melihat orang yang sakit terus berdatangan ke rumah sakit. Kondisinya hampir sama, semuanya sudah lemas dan membawa alat bantu pernapasan.
Ada yang diterima masuk IGD, tetapi lebih banyak yang batal masuk rumah sakit. Ada mobil yang penuh dengan penumpang.
Salah seorang dari mereka terlihat berbaring lemas dengan alat bantu pernapasan. Wajah mereka diliputi kecemasan. Dengan perasaan sedih, mereka terpaksa meninggalkan rumah sakit.
Keesokan paginya, saya mengirim pesan kepada istri teman yang sakit. Saya menanyakan kabarnya. Saya bersyukur, karena dia sudah mau makan pisang dan telur. Namun, ketika sore hari, kondisi kesehatannya memburuk.
Dia akhirnya dilarikan ke rumah sakit. Tidak mudah mendapatkan rumah sakit di masa pandemi yang memuncak. Setelah berkeliling ke beberapa rumah sakit, akhirnya ada rumah sakit yang mau menerima.
Dua hari kemudian, teman yang baik hati dan selalu menyenangkan itu meninggalkan kita untuk selamanya.
Setelah kesedihan saya mereda, malam itu saya kemudian membuka handphone (HP), mengecek pesan singkat di grup WhatsApp (WA). Saya makin lemas ketika membaca pesan di grup WA alumni pesantren.