Komunikasi Kematian
Oleh: Khafidlul UlumSeorang teman perempuan yang tinggal di Banyuwangi juga meninggal dunia setelah berjuang melawan ganasnya virus Corona. Sudah beberapa hari dia dirawat di rumah sakit dengan kondisi yang naik turun dan akhirnya Tuhan memanggilnya lebih dulu.
Pesan belasungkawa dan dukacita mengalir deras melalui telepon genggam. Kabar kematian berseliweran memenuhi smart phone kita. Keesokan harinya, kembali datang kabar kematian tetangga saya di Sidoarjo. Rumahnya persis di depan rumah saya. Saya langsung teringat wajahnya, wajah istrinya, dan wajah anaknya.
Sebab, sebulan lalu saya bertandang ke rumahnya ketika liburan Idul Fitri. Sehari setelahnya, datang lagi kabar kematian tetangga saya di Sidoarjo yang rumahnya persis di belakang rumah saya.
Lengkap sudah rumah saya dikepung orang meninggal dunia karena Covid-19. Bukan hanya rumah, pikiran saya juga dikepung pesan kematian. Hari-hari itu penuh dengan komunikasi kematian. Betul-betul Bulan Juli 2021 yang kelabu.
Pesan kematian datang silih berganti. Komunikasi kematian mengalahkan komunikasi lainnya. Kematian sebagai pesan dan handphone kita sebagai medianya. Kita kadang sebagai komunikator dan juga komunikan.
Seperti disampaikan Harold Lasswell bahwa komunikasi ialah who says what in which channel to whom with what effect. Yaitu, siapa mengatakan apa, dengan media apa, kepada siapa, dan apa efeknya. Ada lima unsur komunikasi, yakni komunikator, pesan, media, komunikan, dan efek.
Di sini kita membicarakan tentang pesan. Kematian yang menjadi pesan. Pesan itu begitu deras datang, seperti banjir bandang yang tidak bisa ditolak dan tidak bisa menghindar selama kita membuka handphone.
Sangat sulit untuk menjauhi gadget. Apalagi ketika pesan kematian itu datang dari orang tua, saudara, kerabat dekat atau teman baik. Tentu kita akan membaca atau mendengar kabar kematian itu dengan seksama.