Konya
Oleh Dahlan IskanMinggu, 30 Desember 2018 – 04:40 WIB
“Saat menari itu Anda bisa sampai trance“? tanya saya.
“Tentu,” jawabnya.
Murid-murid di madrasah saya juga selalu latihan tari itu. Di Takeran, Magetan. Tapi lebih untuk pertunjukan. Bukan untuk menaikkan jiwa ke luar angkasa.
Anda Islam? Hindu?
Dia tidak langsung menjawab. Lama menundukkan kepala. Saya pun merasa bersalah. Terlalu terbawa jiwa wartawan.
Mestinya saya ke sini membawa jiwa tarekat. Pertanyaan seperti itu menghina.
Maulana Rumi tidak pernah mempersoalkan agama. Bahkan dalam satu puisinya Rumi menulis: bukan Islam, bukan Kristen, bukan Yahudi.
Yang penting: jiwa bisa sampai. Ke Yang Maha Agung. Yang Maha Pencipta.