KPAI: Peristiwa Tolikara Menyebabkan Anak-anak Trauma
jpnn.com - KETUA Komisi Perlindungan Anak Indonesia Asrorun Ni’am Sholeh juga ikut menyoroti kerusuhan berbau sara di Tolikara, Papua, Jumat (17/7). Menurutnya, sejumlah anak di sana mengalami trauma kekerasan saat hendak melaksanakan salat Idul Fitri.
Menurutnya, dalam perspektif perlindungan anak, peristiwa tersebut sangat layak dikategorikan sebagai tragedi dengan korban adalah anak-anak. Bahkan, tragedi Tolikara sudah memenuhi unsur pelanggaran hak anak.
Pertama, pelanggaran hak dasar agama anak. Pasal 76 huruf g UU No 35 tahun 2014 menyebutkan setiap orang dilarang menghalang-halangi anak untuk melaksanakan ajaran agamanya. "Pelanggaran terhadap ketentuan ini bisa dituntut pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda hingga Rp 100 juta rupiah," kata Asrorun.
Yang kedua, kata dia, dari aspek minoritas, ketentuan undang-undang menyebutkan anak yang masuk dalam kelompok minoritas dikategorikan mendapat perlindungan khusus.
Penyediaan sarana dan prasarana untuk menjalankan agamanya diatur oleh konstitusi. Kata Asrorun, pasal 65 dalam undang-undang yang sama telah menegaskan perlindungan khusus bagi anak dari kelompok minoritas dan terisolasi dilakukan melalui penyediaan prasarana dan sarana untuk dapat menikmati budayanya sendiri, dan melaksanakan ajaran agamanya sendiri.
Pelanggaran yang ketiga adalah masyarakat abai terhadap hak anak bebas dari kerusuhan sosial dan peristiwa yang mengandung kekerasan.
"Jika kita lihat media elektronik, kita menyaksikan banyak anak-anak yang ketakutan karena pada saat salat Idul Fitri mereka menjadi korban kekerasan dari kelompok intoleran," ujarnya.
Nah, dari tiga pelanggaran hak anak di atas, maka yang harus dilakukan adalah menindak pelaku pembakaran dan menyeret mereka ke meja hijau untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Menurutnya, tidak ada satu pun alasan yang bisa diterima terhadap segala bentuk kekerasan yang telah dipertontonkan di Kabupaten Tolikara, Papua. (mas/jpnn)