Krisis Tol
Oleh: Dahlan IskanDi tahun 2017, Pak Jokowi tidak hanya mengatur persentase: harga DMO itu dipatok. Yakni USD 70/ton –berdasar kualitas 6.322. Ada rumus harga berikutnya: kalau kualitas batu bara di atas itu. Atau di bawahnya.
Penetapan harga DMO itu sebenarnya masih tetap menguntungkan pemilik tambang. Ada hitungan rasionalnya. Sangat rinci: cost plus plus plus. Yakni, seluruh biaya menambang sudah dimasukkan. Masih ditambah biaya bunga. Lalu ditambah biaya jasa. Ditambah pula keuntungan untuk pemilik tambang. Jadilah USD 70/ton.
Namun, tetap saja banyak yang tidak mau memenuhi kewajiban DMO. Lebih banyak dari yang taat. Dari 600 lebih penambang, kurang dari 50 yang taat DMO.
Sampai-sampai PLN mengalami krisis batu bara. Sampai-sampai harus menggunakan LNG yang mahal. Heboh.
Para penambang pilih menggenjot ekspor habis-habisan. Sampai melebihi 500 juta ton setahun. Di tahun kemarin. All out. Habis-habisan. Seolah batu bara itu tidak akan pernah habis.
Harga ekspor memang lagi gila-gilaan: naik dari USD 80 menjadi USD 250/ton. Sekarang harga itu memang sudah turun. Tetapi hanya sedikit. Masih di angka USD 170. Masih selisih USD 100 di atas harga DMO.
Sebenarnya penetapan harga USD 70 itu sangat membantu PLN –yang tarif listriknya tidak bisa naik-turun mengikuti fluktuasi harga batu bara. Namun, selisih USD 100 itu menjadi Rp 1,5 triliun untuk setiap 1 juta ton. Mata Anak Alay pun akan berubah menjadi bang-jo melihatnya.
Maka, muncullah ide baru dari pemerintah: membentuk BLU –badan layanan umum. Yakni seperti perusahaan tapi bukan BUMN. Atau seperti lembaga pemerintah tapi di luar APBN. Berarti kementerian ESDM yang akan mendirikan BLU itu. Anda bisa mengusulkan nama nya: misalnya, Rezeki Denbey.