Kursi Museum Banggar
Sabtu, 21 Januari 2012 – 00:46 WIB
Koridor antara ruang Banggar dan Sekretariat Komisi III itu ada tulisan besar menggantung di langit-langit: “Exit”. Lama saya menduga-duga, apa maksud “exit” itu? Padahal, koridor itu adalah satu-satunya akses menuju pintu utama Ruang Banggar? Pikir saya, seharusnya tertulis “Entry” atau pintu masuk? Ah, saya tidak mau berspekulasi dengan pertanyaan “mengapa?” Di depan Ruang Banggar itu juga ada pentry, dapur bersih yang faktanya tidak bersih.
Tidak matching, ada ruangan yang interiornya mewah dan mahal, tetapi di depannya ada pemandangan tumpukan piring kotor, sendok garpu berlepotan sisa makanan, dua kompor portable, bungkusan plastik sayur mayor? Lalu sisi diagonal dari pentry itu ada pos keamanan yang biasa untuk registrasi dan tanda tangan absen. Dalam kondisi tidak terpakai saja, saya yang berdiri 5 menit di situ sudah menemukan dua putung rokok? Terus terang saya jadi berpikir, ini gedung dewan memang sudah terlalu crowded. Saya maklum, kalau ada ide untuk menambah ruang dan kapasitas. Saya maklum banget, kalau ada rencana memperbaiki toiletnya.
Saya cek memang sudah berumur dan kurang pantas lagi wakil rakyat kita memiliki rest room seperti itu. Lagi-lagi sayang, saya menyesal gagal masuk ruangan itu. Gagal menyandarkan kepala punggung atas kursi yang mereknya sangat terkenal itu. Seperti apa sih kursi karya sebuah perusahaan yang showroomnya ada di 16 negara itu. Yakni, Australia, Austria, Belgia, China, Republik Ceko, Prancis, German, India, Meksico, Belanda, Norwegia, Polandia, Spanyol, Swiss, Inggris dan AS. Kalau dari Jakarta, yang terdekat ada representative office di Singapore, Central Mall, Magazine Road, Corner Havelock. Jadi, sudah pasti impor.