Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Larasati Suliantoro Sulaiman; Abdikan Hidup untuk Batik

Berdayakan Perajin, Pilih Buatan Tangan

Kamis, 08 Agustus 2013 – 17:47 WIB
Larasati Suliantoro Sulaiman; Abdikan Hidup untuk Batik - JPNN.COM

Ilmu Suli mengenai batik didukung ilmu filsafat estetika yang didapatnya. Pada 1978, dia mengambil program pascasarjana di Fakultas Filsafat UGM. Setelah menyelesaikan kuliahnya selama dua tahun, dia kemudian menjadi dosen filsafat estetika di UGM. Dari situ, dia berupaya menularkan kecintaan batik kepada mahasiswanya.

Selain mahasiswanya, Suli dalam melestarikan batik juga ditemani teman-teman sejawatnya. Hingga pada 1999, dia membentuk Paguyuban Pencinta Batik Sekar Jagad. Paguyuban Sekar Jagad itu turut andil dalam menyukseskan pengakuan UNESCO akan batik Indonesia.

"Anak-anak saya pun mulai mengikuti tanpa saya suruh. Mereka juga menyukai batik. Bahkan, saat ini dua putri saya, Laretna T. Adishakti dan Nita Kenzo, membantu memamerkan batik indigo hingga ke luar negeri. Seperti di Tokyo, Milan, dan Seoul," ucapnya.

Pengabdian Suli itu mengantarkannya mendapat sejumlah penghargaan. Beberapa di antaranya penghargaan Kalpataru Kategori Pembina Lingkungan 1997 dan Anugerah Kehati Award 2006, yang merupakan penghargaan tertinggi untuk pelestarian keragaman hayati dari Kementerian Lingkungan Hidup. Selain itu, penghargaan dari media Jepang The Nikkei Asia Prizes 2009.

Sayangnya, sekeras apa pun menjaga kelestarian batik, dia tetap tidak bisa membendung era globalisasi. Masyarakat saat ini lebih menyukai baju-baju impor dan anak-anak mudanya suka sekali dengan celana jins. Hal itu sangat bertolak belakang dengan sikap orang asing. Setiap kali menggelar pameran di luar negeri, dia selalu melihat decak kagum orang-orang asing karena keindahan motif batik. Dalam hati, Suli merasa miris. Tapi, dia tidak bisa menyalahkan generasi muda yang tidak akrab dengan batik.

Dia pun mengkritisi pemahaman masyarakat tentang batik yang mulai bergeser. Saat ini, batik diartikan sebagai corak. Padahal, jika dilihat dari sejarahnya, batik merupakan proses atau kegiatan yang dilakukan perempuan-perempuan Jawa. Itu sama seperti budaya menyulam para perempuan di Eropa. "Saat ini, banyak literatur yang ditulis orang lokal dan asing mengenai batik. Tapi, di sana banyak yang keliru. Mereka menitikberatkan pada produk yang dihasilkan, bukan prosesnya," tuturnya.

Corak batik merupakan hasil kreasi yang diciptakan pembatik. Sama seperti pelukis yang membuat lukisan-lukisan. Perbedaannya, pembatik tidak pernah memproteksi corak yang diciptakan. Mereka senang jika corak yang dihasilkan ditiru pembatik lainnya. Mereka menganggap itu sebagai apresiasi yang diberikan terhadap kreasi yang dihasilkan. Berbeda dengan jenis seni lainnya yang ketika karyanya ditiru, mereka pasti marah.

Dia mengatakan, saat ini banyak orang yang mendukungnya untuk membuat buku tentang batik. Tapi, hingga saat ini dia belum berani. Puluhan tahun mempelajari batik, dia merasa masih banyak yang belum diketahui. "Semakin banyak tahu akan semakin merasa tidak tahu," ucapnya. Dia berkata, banyak cerita, sejarah, dan budaya yang tersembunyi di sana.

Larasati Suliantoro Sulaiman, 78, tak pernah lelah menularkan kecintaan batik kepada generasi muda. Sebagai apresiasi atas sepak terjangnya dalam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

BERITA LAINNYA
X Close