Lebaran Lutut
Oleh: Dahlan IskanKadang saya berpikir, sebelum maju, dulu Beijing lebih fleksibel. Di kejadian darurat seperti ini bisa dapat angkutan apa saja.
Setelah istirahat, istri saya mengajak jalan lagi. "Kuat?" tanya saya. "Dicoba," jawabnyi dengan wajah tidak menderita. Mulailah terlihat jalannyi pincang. Pelan. Kalau saja ini adegan film India saya akan gendong dia.
Akhirnya dia mengeluh: sakit sekali. Sebentar-sebentar kami istirahat. Saya merasa begitu bersalah.
Pulang dari Beijing beliau saya bawa ke dokter. Harus operasi. Tetapi istri saya tidak mau operasi lutut, padahal tidak ada jalan lain.
Suatu saat kami (saya dan anak-anak) cari cara. Agar bisa operasi. Sampai saya jelaskan: lutut baru nanti itu buatan Jerman. Yang terbaik di dunia saat itu.
Akhirnya operasi berlangsung. Di Surabaya. Sukses. Setelah operasi istri saya terlihat sangat menderita. Tiap hari menjerit. Itu memang masa pemulihan.
Setelah tiga bulan barulah berkurang. Lalu tidak lagi rasa sakit. Lantas happy. Bisa senam dansa lagi. Itu... yang kanan.
Belakangan yang kiri mulai sakit. Istri saya merasa trauma untuk menjalani operasi sekali lagi. Dalam penolakannyi itu sering diucapkan kata-kata ini: "Abah kan tidak merasakan sakitnya".