Lebih Baik Bersaudara ketimbang Bermain SARA
jpnn.com - JAKARTA - DKI Jakarta pada Februari 2017 akan menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada). Sebagai ibu kota negara, Jakarta sudah semestinya menjadi contoh bagi daerah lain termasuk dalam hal berdemokrasi.
Karenanya, hal yang perlu dihindari adalah penggunaan isu suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA) dalam pilkada DKI. Sebab, SARA punya potensi besar memicu konflik jika tak dikelola secara baik.
Hal itu mengemuka dalam diskusi kebangsaan bertema Pilkada Damai Tanpa SARA yang digelar DPD Taruna Merah Putih (TMP) DKI Jakarta di Gedung Joang 45 Menteng, Minggu (16/10). Hadir sebagai pembicara dalam diskusi itu antara lain Jeirry Sumampow dari Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Nengah Dana dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (Parisada) dan Liliana Pontoh Perwakilan dari Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN).
Jeirry mengatakan, berbagai elemen di Indonesia harus bisa mengelola elemen SARA. “Kalau salah mengelola SARA maka akan memperburuk nasib NKRI," katanya.
Juru bicara PGI yang juga dikenal sebagai pemerhati pilkada itu menambahkan, pilkada seharusnya menjadi momentum mengelola keragaman guna memperkuat pilar-pilar kebangsaan. Jika hal itu terwujud, sambungnya, maka kemajemukan yang ada akan memperkuat sendi-sendi kebangsaan.
Sedangkan Liliana mengatakan, pilkada adalah proses untuk mencari pemimpin yang adil dan membawa kesejahteraan bagi rakyat. Demi mencari pemimpin yang adail dan membawa kebaikan, katanya, tidak semestinya diwarnai kekerasan.
"Jangan ada saling menyakiti maka pilkada ini akan berjalan damai karena semua agama mengajarkan cinta kasih," harapnya.
Adapun menurut Nengah, Indonesia merupakan bangsa majemuk. Karenanya, SARA merupakan keniscayaan.