Lima Catatan Masyarakat Adat tentang RUU Cipta Kerja
jpnn.com, JAKARTA - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengingatkan eksekutif dan legislatif untuk memastikan Rancangan Undangan-Undang (RUU) Cipta Kerja atau Omnibus Law Cipta Kerja tidak bertentangan dengan mandat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, terutama hak konstitusional masyarakat adat.
Menurut Sekretaris Jendral Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (19/2), RUU itu mengancam keberadaan masyarakat adat dan hak-haknya, yakni wilayah adat, hutan adat dan tanah ulayat, masyarakat adat pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pandangan umum AMAN, dari kajian cepat terhadap RUU tersebut, pertama, substansi pengaturan RUU Cipta Kerja bertentangan dengan Hak Konstitusional Masyarakat Adat sebagaimana dimandatkan dalam pasal 18B ayat 2 dan pasal 28I UUD 1945, yang telah diteguhkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012.
Pasal 18B UUD 1945, sebagai hasil amandemen pertama UUD 1945, menyatakan Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Ketentuan Pasal 18B UUD 1945 diperkuat dengan ketentuan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 bahwa Identitas budaya dan masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Dalam putusan Nomor 35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Hutan Adat adalah Hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi Hutan Negara.
Kedua, berbagai peraturan perundangan terkait masyarakat adat dihapus, dipotong substansinya dan diinterpretasi ulang. RUU tersebut bahkan semakin memperkuat Pengakuan Bersyarat masyarakat adat yang panjang dan berbelit-belit.
RUU itu selanjutnya melanggengkan bahwa Masyarakat Adat tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional.