Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Mak Inah Penjual Sapu Lidi itu Menangis

Minggu, 30 Agustus 2015 – 00:49 WIB
Mak Inah Penjual Sapu Lidi itu Menangis - JPNN.COM
Nenek Sutinah. Foto: Radar Cirebon/JPG

Terkadang Mak Inah hanya mampu menjual tiga atau empat buah saja, karena tidak banyak masyarakat yang terlalu membutuhkan dagangannya. Bahkan sering kali dagangannya tidak ada yang membeli. Jika tidak laku, sapu lidi itu dikembalikan kepada perajinnya, dan Mak Inah harus rela menahan lapar hingga malam hari.

 Beruntung tetangganya terbilang baik, dan kerap memberinya nasi kendati tanpa lauk. Nasi yang hanya sedikit itu menjadi ganjal perut Mak Inah hingga pagi hari.

“Kalau dagangan tidak laku hingga sore, Emak terpaksa meminta nasi setengah centong kepada tetangga. Itu juga Emak malu kalau minta, tapi ya bagaiamana lagi. Untuk lauk nasinya hanya dengan garam. Meski Emak hanya makan sama garam, tapi Emak bersyukur masih bisa makan. Emak ikhlas menjalani hidup ini walau miskin. Yang penting, Emak tidak menyusahkan orang lain. Pantang bagi Emak meminta-minta atau menjadi pengemis walau kehidupan Emak sangat susah,” tutur Mak Inah.

Mak Inah menyadari jika banyak tetangganya yang menaruh iba dan sering memberikan bantuan makanan. Namun lama kelamaan, dirinya merasa malu jika terus dibantu. Akhirnya, Mak Inah memilih menjadi penjual sapu lidi kendati untungnya hanya beberapa ribu Rupiah saja. Dia mengaku mendapat jatah raskin dari pemdes setempat.

“Biasanya Emak beli beras raskin beberapa kilogram untuk persediaan. Untuk lauk nasinya, seadanya saja. Kalau ada garam ya garam, kalau nggak ada, ya nasinya saja,” tuturnya dengan menggunakan Bahasa Sunda.

Mak Inah yang mengaku saat Proklamasi Kemerdekaan RI didengungkan Soekarno-Hatta di tahun 1945 berusia lima belas tahun merasakan pedihnya penjajahan Belanda dan Jepang. Soal bantuan dari pemerintah, Mak Inah merasa pernah mendapat bantuan seperti BLT.

“Kalau BLT itu kan hanya tahunan, sehari-hari Emak harus nyari sendiri. Emak sudah janji ke diri sendiri, selagi Emak masih kuat berjalan, Emak akan tetap berjualan sapu lidi dan tidak akan menggantungkan hidup dari belas kasihan orang lain,” ucapnya seraya menangis. (*)

 

SUTINAH, 83, wanita tua yang berjuang keras demi mempertahankan hidup. Dia terpaksa banting tulang agar bisa menyambung hidup setelah suaminya tiada

Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

BERITA LAINNYA
X Close