Makan Bersama
Oleh Dahlan IskanSaya juga ingat waktu ayah pulang. Sambil memanggul cangkul di pundaknya. Betapa ayah saya itu terlihat lelah, haus, dan lapar. Lalu menggelar tikar di atas lantai --lantai rumah kami terbuat dari tanah.
Ayah pun tidur telentang di atas tikar itu. Tetap dengan celana ke sawah sampai di bawah lutut. Tanpa baju.
Saya lihat perutnya begitu kempes. Kulit perutnya seperti menempel di bagian dalam punggungnya. Begitu lelap tidurnya. Dengan kaki dan celana yang masih belepotan lumpur kering.
Ayah bangun ketika waktu Zuhur tiba. Saat itulah baru cuci kaki. Lalu ganti celana dengan sarung. Ambil air wudu. Untuk salat zuhur.
Ayah lantas mengaji sampai asar tiba. Setelah salat asar ayah bersih-bersih pekarangan. Atau memperdalam parit dengan cangkul.
Olahraga saya di bulan puasa ini tidak ada artinya dibanding kerja keras ayah saya itu.
Setelah cucu-cucu boleh ke rumah, saya pun berpikir. Apa yang bisa saya lakukan dengan cucu-cucu itu.
Saya tawarkan untuk mengajari mereka Bahasa Mandarin. Mereka mau. Tentu kemampuan Bahasa Mandarin saya belum level untuk boleh mengajar, tetapi ini kan darurat.