Maktab Magribi di Puncak
Minggu, 08 Juli 2012 – 10:39 WIB
“Kami berangkat dan datang ke Indonesia sebagai turis. Kami tidak dikoordinir oleh germo dan semacamnya,” tegas perempuan berwangi parfum Buhur Ude (parfum minyak kayu gaharu) ini. Belum sampai Puncak, Tisam tertahan di Jakarta. Bukan lantaran urusan keimigrasian, namun pangsa pasar magribi di ibukota juga cukup menjanjikan. Terlebih, Tisam bertemu dengan rekan sepekerjaan di sejumlah diskotek Jakarta. “Memang banyak yang tertahan di Jakarta. Tapi saya penasaran ingin ke Puncak,” tutur Tisam.
Selang sebulan mencari nafkah di ibukota, Tisam akhirnya berlabuh ke Puncak. Semula, dia bersama rekannya memilih vila seputar Tugu Utara dan Tugu Selatan sebagai tempat penginapan. Namun belakangan, karena bisnis esek-eseknya kian menjanjikan, Tisam pindah ke hotel bintang tiga di Cisarua. “Untung kami tahu perkampungan itu (Warung Kaleng, red). Tak sampai dua hari saya di sini, saya langsung dapat pelanggan,” cetusnya.
Lantaran bervisa turis, ‘alarm’ tinggal Tisam sering berbunyi tiga bulan sekali. Untuk mengakalinya agar tak disanksi karena overstay, Tisam mesti keluar dari negeri ini terlebih dahulu. Tapi dia tak pulang kampung. Gadis berambut ikal ini memilih berlibur ke Thailand, Malaysia dan Singapura.