Mampu Belum Tentu Terpilih, Terpilih Belum Tentu Mampu
Catatan: Dahlan Iskan (1)jpnn.com - Dia tampak sering gelisah. Terutama di dua tahun terakhir masa kepresidenannya. Jenderal TNI Prof Dr Susilo Bambang Yudhoyono berpikir dan terus berpikir. Terutama mengenai masa depan Indonesia. Lebih khusus lagi mengenai nasib kesinambungan kepemimpinan nasional.
Dalam bahasa blak-blakan saya: Siapa presiden setelah dia? Mampukah si pengganti melanjutkan capaian kemajuan yang dia peroleh selama dua periode kepresidenannya? Bisakah sistem demokrasi saat ini menghasilkan pemimpin yang menjamin kemajuan negara? Dan seterusnya.
Di alam demokrasi seperti ini, siapa yang lebih disukai akan lebih memungkinkan dipilih daripada siapa yang lebih mampu. Ini karena suara seorang penjambret bus kota sama nilainya dengan suara seorang profesor atau doktor.
Kegelisahan SBY itu, menurut pengamatan saya, dilatarbelakangi beberapa hal. Mungkin pengamatan saya ini tidak tepat. Jawaban yang paling tepat tentu akan datang dari SBY sendiri. Misalnya, bila suatu saat nanti Presiden SBY menulis memoar dan jangan lupa mengupas soal ini.
Namun, karena saat itu saya termasuk salah satu menteri kabinetnya yang di pos yang secara ekonomi cukup penting, rasanya pengamatan saya ini tidak akan terlalu meleset.
Pertama, SBY tampak gelisah karena sampai saat itu belum muncul nama calon penggantinya yang lebih mampu dari dia. Bahkan setara pun tidak.
Di antara nama yang beredar luas di masyarakat saat itu barulah sebatas orang yang memenuhi kriteria disukai. Dia populer. Dan memang orangnya sederhana. Tetapi, saat itu dia belum memiliki track record yang hebat. Terutama untuk satu beban tugas berat secara nasional.
Kedua, Presiden SBY merasa selama kepemimpinannya, Indonesia mengalami kemajuan yang sangat besar. Dalam kurun yang panjang. Selama dua periode kepemimpinannya. Terutama di bidang ekonomi, stabilitas, dan kesejahteraan.