Mantan Ketua MK: Putusan PK Mardani Maming Cerminan Kekuasaan Kehakiman yang Terkikis
Ia juga mencatat adanya kekhilafan terkait dengan delik menerima suap berupa ketiadaan pembuktian terjadinya meeting of mind antara Pihak Pemberi dengan Penerima (Mardani H Maming) terhadap unsur “menerima hadiah” dalam Pasal 12 huruf b UU Tipikor. Mengingat suap tidak akan terjadi tanpa adanya kesamaan kehendak.
Lalu, ada pertentangan antara Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan Putusan Pengadilan Niaga. Letak pertentangan putusannya adalah bahwa berdasarkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Mardani H Maming dinyatakan terbukti menerima “hadiah” dalam bentuk dividen dan fee dari PT. ATU dan PT. PCN kepada PT. TSP dan PT. PAR.
Namun sebaliknya berdasarkan berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga terbukti bahwa pemberian uang oleh PT. PCN semata-mata akibat adanya hubungan bisnis antara PT. PT. PCN dengan PT. TSP dan PT. PAR.
“Pertentangan putusan ini seharusnya menjadi dasar kuat untuk membatalkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Mengaitkan dua peristiwa dengan tempus dan latar belakang berbeda adalah sesat logika,” ujarnya.
Ia juga menilai, terdapat indikasi pelanggaran terhadap prinsip imparsialitas seperti, pertimbangan Majelis Hakim hanya didasarkan pada keterangan satu saksi, sehingga melanggar asas unus testis nulus testis, pertimbangan hukum hanya didasarkan pada testimonium de auditu dan dalam putusan pengadilan tindak pidana korupsi perkara ini, sejumlah fakta seolah dikontruksikan menjadi circumtantial evidence, padahal tidak singkron satu dengan yang lain.
“Padahal impartial judiciary dalam paham negara hukum merupakan suatu keharusan. Jadi, kejanggalan dalam kasus ini seharusnya dapat dilihat oleh Majelis Hakim dalam kacamata yang jernih dan obyektif tanpa ada intervensi dari pihak manapun -itulah esensi kemerdekaan kekuasan kehakiman, sehingga keadilan bisa benar-benar ditegakkan selurus-lulrusnya bagi para pencari keadilan,” tuturnya.(ray/jpnn)