Manusia Telanjang
Oleh Dhimam Abror DjuraidAtas nama normalisasi keadaan darurat, kekuasaan bisa mengambil alih kewenangan legislatif dan judikatif dan juga bisa melakukan kekerasan. Tanpa due process of law, tanpa harus melewati pengadilan, beberapa menteri berkumpul, sambil ngopi-ngopi, lalu membuat surat keputusan bersama melarang keberadaan organisasi tertentu.
Tidak cukup dengan itu, kekerasan bisa dilakukan dengan menangkap dan memenjarakan siapa saja yang tidak mematuhi keputusan itu. Bila perlu dengan membunuh.
Ketika pembunuhan terjadi, dicarilah pembenaran untuk menghindari hukum. "Rezim demokrasi membentuk kontinuitas dengan rezim totalitarianisme," kata Agamben.
Oleh karena itu, suasana kedaruratan harus diciptakan. Konstruksi kedaruratan harus dibangun.
Pada zaman Soeharto, kedaruratan dibentuk dengan dimunculkannya ancaman PKI. Rezim Soeharto bertahan 32 tahun atas nama kondisi darurat itu. Kedaruratan selalu diciptakan untuk memperpanjang kekuasaan.
Pagebluk Covid-19 adalah kedaruratan, oleh sebab itu harus ada perpanjangan masa kepresidenan untuk mengatasi kedaruratan, dan untuk melanjutkan agenda kekuasaan yang terbengkelai.
Sekarang kedaruratan dikonstruksi atas nama ancaman radikalisme, ekstremisme, bahkan populisme Islam. Konstruksi kedaruratan ini harus ada supaya kekuasaan bisa melakukan langkah-langkah hukum yang eksepsional melampaui kewenangan legislatif dan judikatif.
Politik harus ditransformasikan secara radikal menjadi dunia kehidupan yang telanjang dalam sebuah kamp konsentrasi raksasa yang memungkinkan penguasa melakukan dominasi total. Istilah kamp konsentrasi, dalam pemikiran Agamben, bukan hanya merujuk pada makna harfiah, tetapi merujuk juga pada kondisi dimana manusia menjadi semata-mata tubuh wadag ragawi tanpa identitas politik, tanpa perlindungan hukum, sehingga terekspos secara langsung oleh berbagai kekerasan.