Masalah Baru Muncul di Balik Ketatnya Dwelling Time
jpnn.com - JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR, Bambang Haryo Soekartono mengatakan membaiknya dwelling time (waktu tunggu) bongkar-muat barang di sejumlah pelabuhan laut di Indonesia mendorong praktik penyelundupan barang ilegal masuk pasar nasional.
Mestinya menurut Bambang, dwelling time dibiarkan saja bekerja sesuai alurnya, tanpa harus diperketat. "Akibat pengetatan dwelling time, para petugas pelabuhan bekerja terburu-buru, sehingga mempercepat barang legal dan ilegal masuk tanpa penelitian yang akurat," kata Bambang, di Jakarta, Selasa (12/7).
Lolosnya barang-barang ilegal lanjutnya, akibat manajemen dwelling time barang di pelabuhan internasional di seluruh Indonesia belum terkendali. "Dwelling time yang diperketat oleh pemerintah pusat, ternyata membuat masalah baru, jadi sumber masalah maraknya masuk barang ilegal. Selama ini penyelundupan barang jadi kambing hitam oleh pemerintah. Padahal, dwelling time itulah sumber masalahnya," tegas dia.
Dia menjelaskan, dwelling time agak lama, akibat banyaknya barang impor yang tidak disertai dokumen yang benar, sehingga ditempatkan pada posisi zona kuning dan merah. "Petugas di pelabuhan internasional takut menahan barang-barang itu lama berada di pelabuhan,” ungkap anak buah Prabowo Subianto di Partai Gerindra itu.
Selain persoalan dwelling time, anggota DPR dari daerah pemilihan Jawa Timur I ini juga menilai terlalu banyaknya pelabuhan berstatus internasional di Indonesia. "Ada 141 pelabuhan internasional yang beroperasi di Indonesia. Jumlah ini terlalu banyak, sehingga tidak terkontrol sebab petugasnya tidak memenuhi kualifikasi internasional," tegasnya.
Padahal menurutnya, pelabuhan internasional tidak perlu banyak di satu negara. "Di Amerika Serikat dan Kanada saja pelabuhan internasionalnya hanya lima, Filipina tiga. Bahkan, Eropa yang terdiri dari banyak negara, hanya tujuh," ungkapnya.
Karena itu, Bambang mengusulkan pelabuhan internasional di Indonesia cukup 10 hingga 25 saja seperti di Aceh, Bitung, Batam, Medan, Ende, Denpasar, Jakarta, Surabaya, dan Jayapura.
"Saya ibaratkan seperti Istana Kepresidenan yang memiliki pintu lebih dari 30. Ya, sudah wassalam. Mungkin pintu satu tidak bisa dibobol, tetapi pintu lainya bisa. Jadi, banyak pintu masuk untuk barang selundupan,” pungkas Bambang. (fas/jpnn)