Masjid
Oleh: Dhimam Abror DjuraidPerkembangan ini terjadi sampai dengan masa Orde Baru. Soeharto, yang menyadari bahaya potensi Islam politik, membubarkan Masyumi dan parta-partai yang berbasis Islam, dan meleburnya menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Partai-partai abangan dan Kristen dilebur menjadi PNI (Partai Nasional Indonesia). Gabungan suara dua partai itu pun tidak mampu mengungguli suara Golkar yang menjadi mesin politik Orde Baru.
Selama kekuasaan Orde Baru Islam politik mengalami represi habis-habisan. Karena itu, begitu Suharto jatuh karena reformasi, kekuatan Islam politik bangkit dan memperoleh kanalisasinya. Partai-partai yang dibubarkan semasa Orde Baru bangkit kembali.
Namun, kebangkitan itu tidak bisa menyatukan kekuatan Islam politik menjadi kekuatan yang utuh, karena Islam politik ternyata tidak monolitik, dan justru saling bersaing satu dengan lainnya.
Kegagalan mengusung Habibie menjadi presiden yang merepresentasikan Islam politik, kata Kuntowijoyo, adalah bukti belum maksimalnya "muslim yang punya masjid" dalam konstelasi politik Indonesia.
Perkembangan ini berlanjut sampai rezim Jokowi sekarang ini.
Kekuatan "muslim masjid" yang berusaha melakukan konsolidasi, menghadapi tantangan yang berat dari kelompok "muslim tanpa masjid" yang didukung oleh rezim Jokowi dan oligarki politik.
Para pemikir Islam di era Orde Baru, seperti Nurcholish Madjid, mengusulkan pemisahan Islam dari politik praktis dengan jargon "Islam Yes, Partai Islam No".