Mau Telepon, Silakan ke Desa Seberang
Selain krisis infrastruktur, desa ini juga tak memiliki sumber energi. Warganya bergantung pada genset untuk menyalakan lampu dan alat elektronik lainnya. Setiap malam minimal dua-tiga liter bensin habis untuk keperluan listrik rumah tangga.
Pemerintah desa sebenarnya pernah mengusahakan PLTA. Dengan mengandalkan tenaga air, energi listrik tersalurkan ke rumah-rumah warga. Berbulan-bulan warga menikmati PLTA tersebut. Namun setelah ada kerusakan, PLTA tersebut sudah tidak berfungsi. Akhirnya, warga beralih ke genset. Demi penerangan dan siaran televisi, mereka meorogoh kocek pribadi untuk membeli genset. “Yang jadi masalah karena bensin dibeli di kecamatan,” ucap Mulyadi.
Ketiadaan alat telekomunikasi melengkapi keterpurukan layanan publik Camar Bulan. Warga tidak mampu menjalin koneksi udara dengan pihak luar karena tidak ada jaringan. Tanpa menara, mereka putus hubungan dunia luar kecuali bergeser ke desa tetangga di seberang sungai. “Kalau mau telepon, harus keluar dari desa ini,” ujar Asman.
“Pernah ada orang yang mau telepon keluarganya karena urusan penting, dia terpaksa pergi ke Cermai atau Paloh untuk mendapatkan jaringan yang baik. Hanya dengan cara itu baru bisa telepon,” jelasnya.
Yang menarik perhatian penulis adalah maraknya bendera merah-putih. Penulis sempat membatin menyaksikan merah-putih yang berkibar di sudut-sudut jalan. Sejak memasuki pintu gerbang kampung ini, penulis sudah melihat kibaran merah-putih di tiang-tiang halaman rumah warga. Mungkin karena berada di perbatasan sehingga nasionalisme warga dibakar dengan cara memperkenalkan merah-putih. Bendera tersebut sebagai simbol bahwa mereka adalah bagian dari NKRI.
Mulyadi bercerita bahwa desanya mulai berkembang sebagai sebuah kampung pada awal 1980-an. Warga dari berbagai daerah di Sambas berdatangan ke Temajuk untuk mencari pekerjaan. Mereka membuka lahan baru setelah menebang pohon di belantara setempat.
“Kebanyakan yang datang kemari berasal dari Paloh, Jawai, maupun Teluk Keramat. Kira-kira pada tahun 1982 kami kemari untuk bekerja. Berkebun setelah membuka hutan. Saya berasal dari Jawai dan ikut bapak sebagai tukang kebun,” kata Mulyadi.
Desa Temajuk punya sejarah. Dinamakan Temajuk karena dulunya jalur pelarian warga komunis Sarawak di Kalimantan. Letaknya yang terisolasi membuat pelarian beraliran komunis bergerak ke daerah ini. Temajuk berarti tempat masuk jalur komunis. "Kan ada juga komunis di Serawak. Mereka itulah yang keluar-masuk di sini. Tempat ini sebagai pelarian karena sangat sulit dijangkau," beber Mulyadi yang akrab disapa Apung.