Mbak Eni asal Kediri Pidato di PBB, Tepuk Tangan Bergema
Yang terjadi, dia justru merasa disekap di tempat penampungan. Komunikasi dengan pihak luar, termasuk keluarganya, sangat dibatasi.
“Kami saat itu benar-benar pasrah, tidak berdaya, seperti dicuci otak. Hanya menerima perlakuan tidak manusiawi dari PJTKI,” kata sulung tiga bersaudara itu.
Derita hidup Eni berlanjut. Paspor yang akan dipakainya untuk bekerja ditahan agen penyalur tenaga kerja.
Bahkan, ketika Eni minta izin untuk pulang, agen malah memintanya membayar uang tebusan Rp 2 juta.
“Saat itu uang segitu sangat besar. Saya tidak mampu membayarnya,” katanya.
Setelah lima bulan tidur beralas kasur gulung tipis di tempat penampungan, Eni akhirnya diberangkatkan ke Hongkong.
Di sana, kehidupannya tidak terus membaik. Sebab, majikan Eni memperlakukannya dengan buruk. Gajinya sering dipotong.
“Saya hanya dibayar 50 persen dari upah seharusnya,” katanya.