Melampaui Toko Madura dan Kegigihannya
Oleh: Politikus PDI Perjuangan dan Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah 2018-2022 SunantoSaya langsung kaget dan berpikir “benar juga dollah,”.
Saya jadi ingat apa yang dikemukakan Hernando De Soto dalam The Mystery of Capital yang menemukan bahwa kemiskinan di negara-negara berkembang dikarenakan besarnya aset yang tidak teregistrasi sehingga menjadi apa yang De Soto sebut sebagai Dead Capital.
Kalau melihat kondisi Dollah, sangat benar yang di katakan Hernando De Soto. Jejaring Toko Madura praktis di biayai dengan modal pribadi dan dikelola secara tradisional dengan kearifan lokal.
Meski demikian, dengan hanya berbekal keyakinan bahwa rezeki sudah diatur oleh Tuhan, Toko Madura mampu menjadi counter hegemony dari toko ritel berjejaring seperti alfamart dan indomaret.
Di tengah perbincangan dengan Dollah, saya berpikir kalau saja negara meregistrasi aktivitas ekonomi dari Toko Madura, mendigitalkan transaksinya sehingga membuka akses ke lembaga keuangan, maka resonansinya akan berlipat ganda.
Tentu tidak hanya Toko Madura tapi juga pedagang kaki lima yang dalam ekonomi masuk sebagai ekonomi informal diregistrasi menjadi badan usaha, lalu percepatan digitalisasi, yang terjadi selanjutnya akan ada akselerasi dari ekonomi informal menjadi formal.
Dari sini sebenarnya permasalahan kemiskinan dan penciptaan lapangan pekerjaan bisa di selesaikan dengan satu saja kebijakan.
Toko Madura buktinya, tanpa ada peran dari pemerintah sekalipun bisa hidup dan terus “menginvasi” gang-gang dan keramaian di seluruh Jabodetabek.