Mematikan Industri Gula Rafinasi, Indonesia Bergantung Impor
jpnn.com, JAKARTA - Sektor industri makanan dan minuman adalah termasuk yang paling tinggi menyumbang nilai ekspor. Jika terjadi hambatan pada pasokan gula kepada industri makanan dan minuman, maka sektor ini akan terpuruk.
Pernyataan tersebut disampaikan Ekonom Senior Faisal Basri menyikapi berkembangnya opini yang memposisikan gula rafinasi sebagai musuh petani.
Lihat: Faisal Basri: Dosa Apa Gula Rafinasi Dijadikan Musuh Petani?
Menurut Faisal Basri, wacana gula rafinasi adalah musuh petani dan berbahaya untuk konsumsi, justru berbanding terbalik pada fakta bahwa gula rafinasi adalah solusi untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri.
"Harga raw sugar jauh lebih rendah dibanding harga gula kristal putih (GKP). Jika ini tidak dilakukan hati-hati, maka stok kebutuhan gula industri yang nota bene merupakan sektor yang tumbuh 8,5 persen per tahun, akan mengalami perlambatan. Mematikan industri gula rafinasi akan membuat ketergantungan kita penuh pada gula impor," ujar Faisal Basri, Minggu (18/6).
Faisal Basri mengungkapkan, pada Januari 2017, Ketua APTR, Soemitro Samadikoen sudah menyurati Presiden Jokowi bahwa pemerintah melalui Bulog tidak perlu lagi mengimpor gula kristal putih, karena stok gula dalam negeri masih mencukupi.
Namun, temuan Satgas Mafia Pangan di Makassar dan beberapa tempat lainnya terkait gula rafinasi, justru akan menjadi faktor utama yang akan mengubur target pertumbuhan ekonomi Pemerintahan Jokowi-JK 2017.
Pasalnya, sektor makanan dan minuman yang menjadi konsumen utama gula rafinasi sepanjang 2011-2015 adalah industri yang tumbuh sekitar 8,5 persen per tahunnya. Artinya pasokan gula juga meningkat sebesar itu.