Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Membenahi Sistem Impor Barang

Oleh: MH. Said Abdullah, Ketua Badan Anggaran DPR RI

Rabu, 19 Februari 2020 – 22:35 WIB
Membenahi Sistem Impor Barang - JPNN.COM
Ketua Badan Anggaran DPR RI, MH. Said Abdullah. Foto: Humas DPR RI

jpnn.com, JAKARTA - Kebijakan impor sesungguhnya lumrah saja dalam interaksi perdagangan antarnegara. Naturnya dalam teori ekonomi, kebijakan impor, khususnya impor pangan jika dilakukan dengan benar akan menyeimbangkan harga barang itu di dalam negeri, dan memenuhi pasokan di dalam negeri yang mengalami kelangkan. Namun dalam banyak hal, kebijakan impor untuk menyeimbangkan supply and demand, berubah menjadi ruang berburu rente, permainan kartel dan perselisihan internasional.

Dalam prinsip perdagangan bebas (free trade), kuota impor dianggap sebagai kebijakan haram. World Trade Organization (WTO) menganggap kuota impor sebagai kebijakan proteksionis terhadap barang barang di dalam negeri, dan dianggap diskirimasi terhadap barang barang negara lain. Sebab terkait kualifikasi, jumlah, dan kebijakan pendukungnya tidak mengacu pada standar perdagangan internasional, akan tetapi keputusan sepihak pejabat negara pengimpor.

Akibatnya, sistem kuota impor sering kali menjadi perselisihan di WTO dari banyak negara. Indonesia diadukan WTO oleh Amerika Serikat terkait kuota impor dagiing, jauh sebelum perang dagang China dan Amerika Serikat, Amerika Serikat mengadukan China ke WTO terkait penentuan tarif komoditas Amerika Serikat yang masuk ke China, dan masih banyak lagi perselisihan terkait kebijakan impor di meja WTO.

Kita sering mendengar berbagai kasus hukum yang muncul akibat kuota impor barang. Hal ini sering terjadi karena biasanya kebijakan impor barang, khususnya pangan, terjadi selisih harga yang cukup tinggi antara di dalam negeri dan luar negeri. Harga di luar negeri lebih murah daripada harga di dalam negeri. Selisih harga yang tinggi memungkinkan para importir memberi fee yang besar kepada para pejabat sindikatif pemberi otoritas. Motifnya agar klan atau jaringan mereka yang dimenangkan sebagai importir pada proses lelang. Hal inilah yang kerapkali terjadi dalam kebijakan impor pangan kita.

Jadi sesungguhnya kebijakan impor dengan sistem kuota tidak sebenar-benarnya untuk memenuhi kebutuhan pangan di dalam negeri, akan tetapi lebih ditujukan untuk berburu rente para pejabat. Alasan untuk memenuhi pasokan dalam negeri sering kali cuma dijadikan alat pembenar. Kita sering membaca dan melihat perselisihan di media massa antara bulog, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan terhadap kebijakan impor pangan.

Kebijakan impor dalam beberapa kasus juga bagian dari dampak permainan para kartel, saking besarnya peran mereka dalam penentuan di pasar, bahkan pemerintah pun dibuat kalah sehingga pemerintah harus terpaksa impor pangan tertentu. Modus yang sering kali terjadi para kartel menghentikan sementara pasokan (supply) dengan cara menimbun.  Akibatnya terjadi kelangkaan barang dan harga di pasar tinggi. Alhasil, pemerintah dituntut untuk menyeimbangkan harga, sementara cadangan pangan milik pemerintah yang ada di bulog tidak memadai. Konseuensinya pemerintah harus membuka kran impor, yang dalam prosesnya juga tidak bisa lepas dari campur tangan kartel.

Hemat saya pemerintah harus membenahi beberapa hal agar kebijakan impor barang,  khususnya pangan kedepan lebih baik. Agar ke depan tidak menimbulkan perselisihan di WTO, tidak korup, dan yang lebih penting lagi menjadi daya topang tumbuh kembang perekonomian dalam negeri secara berkelanjutan.

Beberapa langkah yang harus ditempuh oleh pemerintah antara lain, pertama: membenahi Sistem Logistik Nasional (Sislognas). Sejak tahun 2012 sebenarnya kita sudah punya blueprint Sislognas melalui Keputusan Presiden Nomor 26/2012 tanggal 5 Maret 2012. Namun upaya ini tidak maksimal terealisasi karena rendahnya komitmen banyak pihak.

Said Abdullah mengatakan sesungguhnya kebijakan impor dengan sistem kuota tidak sebenar-benarnya untuk memenuhi kebutuhan pangan di dalam negeri, akan tetapi lebih ditujukan untuk berburu rente para pejabat.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News