Mempertahankan Tradisi Malam Selikuran di Tengah Pertikaian
jpnn.com - Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat punya tradisi bernama Malam Selikuran untuk menyambut 10 hari terakhir Ramadan. Konflik internal di kerajaan tersebut mendorong dua pihak yang bertikai menggelar tradisi warisan zaman Kesultanan Demak itu sesuai versi masing-masing.
Laporan Romensy Augustino, Solo
PADA Jumat (22/4) malam, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat menggelar tradisi Malam Selikuran. Ada dua Malam Selikuran pada hari yang sama itu.
Selikur merupakan istilah dari bahasa Jawa yang artinya 21. Tradisi Selikuran sebagai pengingat kepada umat Islam akan turunnya Lailatulqadar.
Pada masa Sultan Agung, raja ketiga Mataram Islam itu memulai Selikuran untuk menyambut malam mulia berlimpah pahala tersebut.
Dalam perkembangannya, penyelenggaraan tradisi Malam Selikuran mengalami pasang surut. Keraton Kasunanan Surakarta sebagai pecahan Kerajaan Mataram mulai menghidupkan kembali tradisi itu pada era Pakubuwana IX.
Pada masa pemerintahan Pakubuwana X, tradisi itu berkembang dan ditambahi prosesi kirab para abdi dalem yang membawa 1.000 tumpeng dari Keraton Kasunanan Surakarta menuju Masjid Agung. Prosesi itu pun bertahan hingga sekarang.
"Seribu tumpeng itu bermakna siapa pun yang mendapatkan Lailatulqadar berarti memperoleh keutaman ibadah 83 tahun tanpa berhenti," ujar Ketua Takmir Masjid Agung Solo KH Mohammad Muhtarom.