Menanti Kekuatan Perang Bintang di Balik Pilpres 2019
Oleh Zaenal A Budiyono*jpnn.com - Presiden Joko Widodo menunjuk dua mantan petinggi TNI masuk ke dalam lingkaran dekatnya di istana. Adalah Jenderal (Purn) Agum Gumelar dan Jenderal (Purn) Moeldoko yang masuk ke lingkaran istana seiring reshuffle Kabinet Kerja jilid III kemarin (18/1).
Agum masuk ke lingkaran istana sebagai pengganti almarhum KH Hasyim Muzadi di Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Sedangkan Moeldoko yang baru lengser dari jabatan Panglima TNI pada 8 Juli 2015, dipercaya untuk menjadi Kepala Staf Presiden (KSP) menggantikan Teten Masduki.
Secara administratif, sirkulasi jabatan ini adalah hal wajar. Sebab, Agum mengisi pos yang kosong pasca-wafatnya Kiai Hayim.
Demikian pula Moeldoko yang menggantikan Teten. Reshuffle kabinet memang merupakan hak prerogatif presiden.
Meski demikian, Presiden Jokowi tentu memiliki pertimbangan-pertimbangan politik untuk menarik Agum dan Moeldoko. Bagaimanapun, lembaga kepresidenan adalah lembaga politik.
Naif sekali bila melihat bongkar pasang kabinet itu dengan menyampingkan tujuan-tujuan strategis dan taktis Presiden Jokowi. Apalagi, konstelasi politik pada tahun ini akan menghangat dengan adanya pilkada di 171 daerah.
Konstelasi politik tahun depan juga tak kalah hangat. Sebab, ada pemilu legislatif dan pemilu presiden yang digelar bersamaan.
Dalam konteks itu pula, masuknya Moeldoko dan Agum bisa dimaknai sebagai penguatan fondasi politik Presiden Jokowi di militer. Selama ini bila bicara pengaruh militer, Presiden Jokowi diidentikkan dengan dua tokoh senior di TNI, yaitu Luhut B Panjaitan dan AM Hendropiyono.