Mengapa Harus Eksis Merebut Pasar di Messe Berlin?
jpnn.com - Angka, data dan fakta, itu tiga kombinasi yang mutlak harus masuk nalar, logis, dan konkret dalam pengembangan pariwisata nasional! Itu telah menjadi benchmark, bahkan “ideologi” bagi Menpar Arief Yahya dalam kebijakan promosi Wonderful Indonesia di kancah internasional. Termasuk di pasar pariwisata terbesar di dunia, Internationale Tourism Bourse (ITB) Berlin 2015, tanggal 4-8 Maret ini.
Don Kardono – Berlin, Jerman
Pria yang lahir di Banyuwangi, Jawa Timur, 2 April 1961 ini menyebut angka-angka statistik itu sudah berbicara. Data itu mirip dengan kitab suci, yang “haram” hukumnya untuk dilanggar.
Implementasi dalam kebijakan harus mengacu pada angka, data dan fakta. Feeling dibutuhkan, kreativitas sangat penting, tetapi harus base on data. Karena itu, ketika harus all out menjual “pesona Indonesia” ke kancah dunia, maka mengeksplorasi ITB Berlin menjadi masuk nalar.
Memang, statistik menunjukkan bahwa lima besar turis yang datang ke Indonesia itu justru bukan dari Eropa. Lalu mengapa harus all out menjaga eksistensi booth Merah Putih di Berlin? Ini yang harus dijelaskan dengan akal sehat. Lima peringkat besar turisme ke Indonesia memang Singapore (1.519.223 wisman), Malaysia (1,276,105 orang), Australia (1.276.105) , Tiongkok (959.231) dan Jepang (486.687 orang).
Eropa yang terbanyak hanya UK, 230.315 wisman. Sedang Jerman sendiri, tempat ITB digelar di Messe Berlin, hanya 180.334 orang selama tahun 2014.
“Tetapi turis dari Eropa itu lama tinggal di Indonesia antara 10-14 hari. Lebih lama dari turis yang berasal dari negara tetangga. Lalu, belanja uangnya, pilihan hotel, dan konsumsinya lebih banyak, lebih mewah, dan lebih mahal. Jatuhnya menjadi wisman berkualitas,” kata Arief Yahya dalam press conference di Citi Cube, Messe, Berlin.
Pasar Asia dan Australia itu pasar yang sensitif harga, pasar yang mengejar kuantitas, massif, jumlah yang banyak. Pasar penting untuk target growth atau menjaga pertumbuhan kunjungan dari masa ke masa. Sedangkan pasar Eropa, adalah wisatawan yang rela merogoh kocek lebih tebal, spend of money lebih banyak, tidak galau dengan fluktuasi harga, dan berlibur dalam ritme liburan yang lebih lama. Dua hal yang komplementer, saling melengkapi, saling membutuhkan dan tidak bisa dibandingkan apple to apple.