Mengapa Pemerintah Indonesia Doyan Menggunakan Jasa Influencer?
Mulaii dari mensosialisasikan penanganan virus corona, kampanye 10 titik destinasi baru untuk mempromosikan pariwisata, rancangan undang-undang Cipta Kerja, kereta cepat, RKUHP, sosialisasi penerimaan peserta didik baru, dan kini IKN.
Egi mengatakan pemerintah lagi-lagi menggunakan influencer untuk sebuah kebijakan atau proyek yang bermasalah.
"IKN ini investasinya tidak ada yang masuk dari luar negeri, lalu kami juga menemukan masalah dari sisi pengadaan barang dan jasanya, ... dan proyek tersebut tidak berjalan sesuai target," ujar Egi.
"Pemerintah pada akhirnya kemudian menggunakan jasa influencer untuk mengelabui publik, supaya [proyek] itu terlihat berjalan dengan baik dan anggaran publik digunakan untuk memberikan informasi yang tidak patut atau tidak tepat bagi publik."
Akademisi dari Universitas Indonesia dengan kepakaran kebijakan publik, Lina Miftahul Jannah menilai pelibatan influencer bisa jadi sah-sah saja, "tetapi kata kuncinya adalah evidence-based, harus berdasarkan bukti di lapangan."
"Sebagai contoh, pembangunan IKN katanya tidak merusak lingkungan, tapi faktanya ada lingkungan yang dikorbankan, yakni hak masyarakat adat, dan ini bukan kajian satu-dua orang, tapi dilakukan oleh banyak akademisi."
Menurut Lina, masalah muncul ketika pemerintah mengabaikan bukti dan sains yang seharusnya menjadi basis kebijakan atau evidence and science-based policy.
"Sehingga ketika pemerintah harus mengemasnya agar menjadi dianggap 'legal' dan diketahui semua orang, ... nah, orang Indonesia kan mudah percaya dengan influencer," jelas Lina.