Mengapa Pemerintah Indonesia Doyan Menggunakan Jasa Influencer?
Senada dengan Lina, Egi juga meminta pemerintah tidak hanya menginformasikan hal positif dari pembangunan IKN kepada publik, tapi juga hal yang tidak positif.
"Misalnya, bagaimana IKN merugikan warga sekitar yang kehilangan hak atas air dan hak atas mata pencaharian."
Selain itu, Lina mempertanyakan kepercayaan Presiden Jokowi pada humas pemerintah karena lebih memilih menggunakan influencer untuk proyek resmi negara.
"Pemerintah bisa belajar dari influencer bagaimana cara mereka berkomunikasi sehingga bisa menarik perhatian masyarakat, ... jadi pelajari caranya, fungsinya, bukan menggunakan orangnya," kata Lina.
'Masyarakat tidak bodoh'
Masalah lain dari pelibatan influencer ini menurut ICW adalah soal akuntabilitas dan ancaman bagi demokrasi.
Berdasarkan hasil penelusuran ICW di kanal Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) dengan kata kuncil 'influencer' dan 'key opinion leader', ditemukan jika pemerintah telah mengeluarkan Rp90,4 miliar sepanjang 2014 sampai 2020 untuk influencer dan buzzer.
Egi mengaku ICW masih menelusuri terus soal ini hingga tahun 2024, dan meski data yang terbaru belum dikompilasikan, menurutnya pola yang sama masih terjadi.
"Dan permasalahan yang sama sejak 2020, bagaimana transparansi dan akuntabilitasnya itu tidak pernah terjadi," kata Egi.