Mengapa Tak Boleh Ada Aplikasi Alkitab Bahasa Minang di Indonesia yang Beragam?
Mohammad Iqbal Ahnaf dari 'Center for Religious and Cross-cultural Studies' di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menambahkan beberapa tahun belakangan lembaga adat Minang mengalami pergeseran dengan masuknya aktor-aktor politik yang mendefinisikan "Keminangkabauan" dalam perspektif kepentingan politik yang berasal dari kelompok "Islam garis kanan."
"Identifikasi Islam yang eksklusif dari kelompok ini sebenarnya mengesampingkan diskursus keislaman di Minang yang sudah ada sejak lama dan berbeda dengan wajahnya saat ini," kata Iqbal.
Iqbal juga mempertanyakan soal adat budaya Minang yang selama ini diterima sebagai budaya yang identik dengan Islam, padahal ada beberapa hal yang juga tidak sejalan.
"Misalnya soal warisan dan hak waris. Sekarang tokoh-tokoh Islam di sana menyerang budaya Minang tersebut."
"Jadi kalau begitu, [adat dan budaya] Minangkabau itu belum tentu Islam atau bagaimana?" tanya Iqbal.
'Tidak ada pelanggaran hukum'
Selain mempertanyakan dasar permintaan Gubernur Sumbar yang merujuk pada adat dan budaya Minangkabau, Iqbal juga mengingatkan keberadaan Alkitab berbahasa Minang tersebut sama sekali tidak melanggar hukum.
Dasar hukum ini juga disoroti akademisi dari Universitas Kristen Duta Wacana dengan fokus studi 'Inter-religious Studies, Religion Online', Leonard Chrysostomos Efapras.
"Kemenkominfo kok responsif banget, langsung men-take down tanpa prosedur hukum?"