Mengunjungi Pesantren Al-Zaytun bersama Menag, ketika Gencar Dituduh Markas NII
Ada "Paspor" untuk Keluar-Masuk hingga 500 Ribu Pohon JatiKamis, 12 Mei 2011 – 08:08 WIB
Saat ini Al-Zaytun telah menanggalkan kata ma"had (pesantren) di depan namanya. Ini karena sejak beberapa tahun lalu berdiri Universitas Al-Zaytun di dalam kompleks tersebut. Sejumlah fakultas, mulai teknik hingga kedokteran, dimiliki universitas yang rektornya juga Syaikh Al-Zaytun A.S. Panji Gumilang.
Al-Zaytun tidak menerima "siswa sambungan". Yakni, siswa yang masuk Al-Zaytun di tengah-tengah kelas. Siswa harus memulai dari tahun pertama SMP alias kelas tujuh. Pondok itu tidak menerima siswa yang baru masuk saat kelas sembilan (kelas tiga SMP) dan kelas sepuluh (kelas satu SMA). Namun, untuk siswa SD, kelas berapa pun diterima.
Murid juga membayar mahal untuk bisa bersekolah di Al-Zaytun. Untuk semua tingkatan, orang tua siswa dan mahasiswa harus membayar USD 3.500 (sekitar Rp 29 juta). Biaya sebesar itu digunakan untuk membayar biaya pendidikan dan biaya-biaya lain selama tinggal di pondok selama masa belajar. "Itu tidak mahal. Biayanya bisa dicicil, bisa 12 bulan, atau 24 bulan. Paling sebulan kena Rp 600 ribu," kata Nasokha.